"Cepat lakukan !" perintah Nathan, sorot matanya mendesak Dennis untuk segera melakukan pekerjaannya dengan segera.
Dennis menelan ludah. Karena terdesak kebutuhan yang membutuhkan uang cepat untuk istrinya yang akan operasi melahirkan, kini dia harus terjebak di hadapan seorang bayi perempuan cantik bermata indah yang menatapnya bingung dengan moncong senjata api yang berjarak hanya sekian senti saja dari keningnya.
"Cepat!" desis Nathan lagi. Melihat Dennis hanya bergeming di tempatnya berdiri, dia menarik bahunya hingga terjungkal dan mengambil alih tugasnya.
"Jangan!" cegah Dennis hanya sepersekian detik sebelum Nathan menarik pelatuk senjatanya. "Aku punya cara yang lebih senyap tanpa suara ...."
"Berengsek, cepat lakukan dan kita akan dapat bayaran!" bentak Nathan. "Ingat istrimu yang sebentar lagi lahiran!"
Dennis buru-buru mengeluarkan senjata terakhirnya, opsi yang sengaja dia pilih sebagai cara untuk menghabisi jiwa-jiwa yang tak berdosa dengan selembut mungkin.
Beberapa meter dari mereka, sepasang suami istri yang terikat dengan mulut dilakban melempar pandangan memohon ke arah Dennis dan juga Nathan.
"Gas beracun," tunjuk Dennis kepada Nathan. "tak perlu suara keras untuk bisa menghabisi ketiga nyawa ini."
Nathan awalnya berniat menghabisi bayi mungil itu saja, tapi karena keburu ketahuan orang tua bayi, dia terpaksa harus menghabisi semuanya. Selanjutnya dia tinggal meminta bayaran lebih kepada klien-nya karena berhasil membasmi pesaing mereka tanpa kecuali.
Prang!
Dennis memecahkan botol itu di depan sang bayi, membuat Nathan berbalik dan menyeret Dennis pergi meninggalkan rumah itu.
Saat terdengar gerakan di belakang mereka, Nathan tanpa ragu melepas tembakan hingga dua kali tanpa memandang bidikannya.
DOR! DOR!
***
Belasan tahun setelah itu ....
Kissia terbangun dengan keringat membasahi wajahnya yang cantik, kedua matanya yang indah melebar dengan tak wajar, seakan dia baru saja lari dari seseorang yang mengancam jiwanya.
'Mimpi itu lagi ...' kata Kissia dalam hatinya. Dia mengusap wajahnya yang berkeringat dengan jemarinya yang lentik, setelah itu berdiri untuk menuang air ke dalam gelas kosong yang sengaja dia siapkan tiap malam.
Hari rupanya sudah berganti pagi, sehingga Kissia merapikan tempat tidurnya dan pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya.
Dapur masih dalam keadaan sepi ketika Kissia muncul. Sesaat setelahnya kedua orang tua angkat Kissia muncul bersama anak kandung mereka yang bernama Feli.
"Ayah sudah menyiapkan calon suami untuk kalian berdua," kata Helvin ketika semua anggota keluarga sudah duduk di kursi masing-masing.
Kissia yang baru saja lulus sekolah memandang ayah angkatnya dengan kedua mata mengerjab.
"Siapa mereka, Yah?" tanya Feli dengan wajah tertarik. "Pastikan aku tidak perlu menolak ide perjodohan ini."
Helvin mengotak-atik ponselnya dan sesaat kemudian mengulurkan benda pipih itu kepada Feli.
"Kamu bodoh kalau menolak berjodoh dengan salah satu dari mereka," komentar Helvin lambat-lambat.
Feli menyibakkan rambut pendeknya ke belakang bahu, kemudian dia mengambil ponsel yang diulurkan ayahnya. Sementara itu Kissia melirik kakak angkatnya dengan wajah bertanya-tanya.
“Ini kan ...” Feli menyipitkan matanya dan memperhatikan dua sosok pria yang tertampil di ponsel sang ayah. “dua putra dari bos pemilik perusahaan yang cabangnya ada di mana-mana ... Universe Grup?”
Helvin mengangguk kalem.
“Pintar,” pujinya singkat.
Feli melebarkan matanya dengan begitu antusias. Bagaimana tidak, dari fotonya saja kedua pria itu sudah sanggup membuat hatinya tertawan dengan ketampanan dan tentu saja kekayaan yang mereka miliki.
“Aku mau lihat,” sela Kissia sambil mengulurkan tangannya, tapi Feli langsung mengembalikan ponsel itu kepada Helvin. Dia punya alasan tersendiri untuk tidak mengizinkan adik angkatnya melihat foto kedua pria tadi.
“Koneksi Ayah bagus sekali ..." komentar Feli. "tapi, apa alasan yang membuat keluarga terhormat itu bersedia menerima perjodohan ini?”
Mendengar pertanyaan putri kandungnya, membuat senyum kebanggaan terbit samar di wajah ambisius Helvin.
“Kamu tahu betul seberapa kuatnya koneksi yang ayah miliki,” ucap Helvin dengan nada puas yang gagal dia tutup-tutupi.
“Tapi, Yah ...” Kissia menyela dengan ragu. “aku baru saja lulus sekolah, dan aku masih mau melanjutkan pendidikanku ke universitas ....”
Helvin balas menatap Kissia lurus-lurus.
“Dengar ayah, Kissia. Perusahaan ayah sedang lesu, dan salah satu anak perusahaan Universe punya proyek kerja sama yang sayang untuk dilewatkan,” kata Helvin lambat-lambat hingga Kissia mampu mendengar setiap patah kata yang dia ucapkan. “Perjodohan ini sebagai salah satu langkah untuk merekatkan hubungan baik dua perusahaan.”
Kissia menarik napas, tidak mengerti dengan maksud ucapan sang ayah.
“Soal kuliah,” sambung Helvin tanpa mengalihkan pandangannya dari Kissia. “kamu tidak membutuhkan gelar apa pun kalau sudah menjadi menantu dari pemilik Universe Grup. Jadi, kubur saja mimpimu untuk melanjutkan sekolah itu dalam-dalam.”
Feli menyembunyikan senyum samarnya, dia tidak perlu khawatir soal pendidikan karena dia sempat merasakan yang namanya bangku kuliah. Dia justru senang jika di hari pertunangan kelak, dirinya terlihat jauh lebih bersinar daripada Kissia.
“Bu, aku tidak mau menikah dalam waktu dekat!” seru Kissia kepada ibu angkatnya ketika Helvin sudah berangkat kerja. “Aku masih mau meneruskan kuliah di universitas.”
“Ibu tahu, Sayang.” Ivanca mengusap puncak kepala putri angkatnya. “Tapi masalahnya akhir-akhir ini keuangan perusahaannya sedang bermasalah, dan mengawinkan kamu adalah salah satu jalan cepat untuk memperbaikinya.”
Kissia memejamkan kedua matanya rapat-rapat, berharap jika ini adalah mimpi buruk saja baginya.
“Apa? Pertunangan?!”
Sementara itu di kediaman Alanzo Rico, sang pemilik Universe Grup tengah menghadiri pertemuan keluarga di ruang makan dengan beberapa pelayan berdiri tegap di setiap titik tertentu dengan siap siaga.
“Ayah tidak salah?” tanya Giordano, putra pertama dalam keluarga itu. Sepotong rambut ikal di dahinya bergerak pelan saat dia menoleh memandang ayahnya. “Perusahaan kita sedang maju-majunya, tapi Ayah malah memikirkan hal remeh seperti pernikahan.”
“Dengarkan ayahmu sampai selesai bicara,” tegur Levina kepada Giordano. “dia pasti punya tujuan baik untuk kamu.”
Giordano mengembuskan napas pelan, sementara adiknya yang bernama Virghi memilih duduk diam dengan sikap dingin.
“Kakek mereka adalah sahabat nenek kalian yang pernah berjasa bagi perusahaan keluarga kita,” kata Alanzo menjelaskan.
“Terserah Ayah,” sahut Virghi dengan wajah datar yang tersembunyi dari balik rambut hitam legamnya yang lurus. “Sejak kapan aku punya hak bicara?”
Giordano mendengus dan beralih memandang ayahnya.
“Kalian berdua akan ayah pertemukan dengan tunangan kalian akhir minggu ini juga, pastikan kalian datang tepat waktu,” sambung Alanzo.
Giordano dan Virghi tidak bisa berkata apa-apa kalau ayah mereka sudah memutuskan.
Bersambung –