Setelah selesai, seperti biasanya Rendi bersandar di kepala tempat tidur. Dia menyalakan rokok, lalu meniupkan asap rokok dengan perasaan puas. Dalam tatapan dinginnya itu, aku memakai handuk untuk mandi, lalu berganti pakaian dan bersiap pulang. Sekarang sudah jam delapan tiga puluh, jika langsung pulang, aku masih bisa menonton satu episode film Amerika, hanya saja tidak tahu apa yang salah dengannya malam ini, tiba-tiba dia ingin aku menginap.
Kupikir, mungkin karena suasana hatinya sedang buruk, malam ini dia minum banyak alkohol, matanya merah seperti seekor kelinci.
Rendi Santoso sangat tinggi dan tampan, temperamennya yang sulit diatur mirip dengan seekor kuda liar. Hanya dengan tersenyum saja, hormon pria akan langsung meledak dan membuat hatimu menggebu-gebu.
Tapi sayang sekali, pria ini hanya teman seks aku.
Tiga bulan yang lalu, ibuku bersikeras ingin aku menerima lamaran seorang pria tua kaya baru, dan karena aku masih perawan, dia menetapkan harga yang tinggi. Untuk membalas perbuatan ibuku, aku pergi ke bar dalam keadaan emosi, berniat mencari seorang pria untuk menyerahkan diriku.
Saat itu, aku bertemu dengannya di pintu masuk bar, di bawah lampu neon yang kabur, dia seperti tokoh pria arogan yang muncul dari novel romansa. Dia datang tanpa sepatah kata pun, langsung menggendongku yang setengah mabuk dan masuk ke dalam mobilnya lalu membawaku ke dalam sebuah kamar suite.
Hingga saat ini aku masih belum mengerti dengan tindakkannya pada malam itu. Aku pernah bertanya, tapi dia menjawab dengan kejam. Seorang pria meniduri seorang wanita, masih butuh alasan?
Benar juga, terlebih lagi aku juga seorang perempuan yang cantik.
Aku bahkan belum pernah berpacaran. Setelah berkencan dengannya, muncullah rasa bersalah yang sangat besar. Namun teringat akan sikap ibu padaku, di dalam hatiku muncul perasaan ingin membalas perbuatannya. Oleh karena itu, sambil membawa perasaan yang kompleks ini, aku pun terjerumus dalam kepuasan yang suram dari hal buruk ini.
Kami berkencan selama tiga bulan, hanya sebagai teman seks yang sangat amat murni. Kami tidak saling mengganggu kehidupan masing-masing dan tidak mencari tahu kehidupan asmara satu sama lain, tidak ada kasih sayang, hanya kontak fisik saja. Setelah selesai, kami akan pulang ke rumah masing-masing. Kami bahkan tidak pernah makan bersama, apalagi sampai menginap.
Tidak kusangka Rendi tiba-tiba akan mengusulkan untuk menginap. Dalam hubungan kami, permintaan sepele ini tidak diragukan lagi adalah permintaan kelas berat.
Setelah tertegun sejenak, aku menyetujuinya dengan senang hati. Aku juga ingin merasakan seperti apa ketenangan hidup di mana bisa bangun di dalam pelukan seorang pria di bawah sinar matahari pagi yang lembut.
Rendi menyuruh aku menginap, apakah menandakan hubunganku dengannya sudah memiliki perkembangan?
Saat sedang mandi, di dalam pikiranku hanya muncul pertanyaan konyol ini, perasaanku melayang-layang tidak jelas.
Setelah selesai mandi, aku berjalan keluar dan melihat Rendi sedang memainkan ponselku. Dia bahkan tidak mendongakkan kepala saat mendengar gerak-gerikku.
“Wanita cantik keluar dari kamar mandi saja tidak dilirik, memangnya ponsel begitu asyik?” Aku duduk di sampingnya, sambil bercanda berusaha mencairkan suasana.
Dia tidak menghiraukan aku, lalu dia menyalakan sebatang rokok lagi, “Sudah mau menikah?”
Apa?
Aku melihatnya, ternyata ibuku mengirimkan pesan yang sangat panjang. Intinya, Sandi Hermansyah sudah mengirimkan mahar ke rumah, totalnya satu miliar tiga ratus dua puluh juta rupiah. Jika aku tidak puas, dia masih bisa menambahkannya lagi. Dia juga akan membelikanku mobil serta cincin berlian yang bernilai puluhan juta rupiah di saat kami menikah nanti, serta berjanji tidak akan memperlakukanku dengan buruk. Lalu ibu menyuruhku pulang besok untuk memperhitungkan biaya pernikahan. Dia berkata akan lebih bagus lagi jika bisa mengambil surat nikahnya bulan depan, kemudian memilih tanggal yang bagus untuk melangsungkan pernikahan secepat mungkin. Selain itu, dia juga mengatakan betapa Sandi bersedia menghabiskan uangnya untukku.
Intinya, dia sudah menegosiasikan harga yang bagus untuk menjualku, hanya tinggal menungguku menyerahkan diri saja. He he, benar-benar ibu kandungku. Walaupun dibatasi layar ponsel, aku juga bisa merasakan kegembiraannya karena mendapatkan uang satu miliar tiga ratus dua puluh juta rupiah itu.
Sandi Hermansyah ini adalah orang kaya baru yang datang ke rumah untuk melamarku tiga bulan yang lalu.
Masalah ini sangat konyol. Berdasarkan cerita dari ibuku, ada seorang pria dari keluarga Hermansyah di kota kami yang entah dari mana melihatku di tengah kerumunan orang. Dia jatuh cinta pada pandangan pertama dan menanyakan alamatku ke mana-mana. Usaha memang tidak mengkhianati kerja keras, akhirnya dia berhasil menemukan aku. Kemampuan sobat ini juga sangat mengejutkan, tidak ada trik apapun dan langsung membawa mak comblang datang untuk melamar. Tidak apa-apa jika dia adalah pemuda yang tampan. Masalahnya adalah, sobat ini sudah hampir berusia lima puluh tahun, bahkan sudah bisa menjadi ayahku. Tidak tahu mengapa dia bercerai dengan mantan istrinya, dan sekarang dia ingin menikahi seorang gadis perawan untuk mengurus hari tuanya, bukankah ini konyol?
Ibuku yang tergiur akan hartanya sudah menargetkan Sandi. Tidak ada alasan lain, hanya karena dia kaya. Belasan tanah rumah yang diwariskan nenek moyangnya sebentar lagi akan dibongkar. Dengar-dengar masih ada beberapa orang di atas yang hubungannya sangat erat. Pihak pengelola juga tidak berani menyinggungnya, tanah yang awalnya seharga miliaran rupiah, sekarang pun dibayarnya dengan puluhan miliar rupiah. Uang banyak membangkitkan nyali orang kecil, karena itu dia datang ke rumah untuk melamarku dengan sangat percaya diri.
Saat mak comblang Sandi datang untuk melamar, ibuku sangat senang. Di depan mataku, dia berulang kali meyakinkan mak comblang itu bahwa aku adalah seorang gadis perawan. Saat itu aku sangat marah, karena hal inilah, aku pergi ke bar untuk membuka diri, dan pada akhirnya bertemu dengan Rendi.
Aku sangat kesal dan marah, aku menatap layar ponsel dengan tatapan bengong untuk sekian lama. Aku telah menolak berkali-kali, namun ibuku tetap berusaha menjerumuskan aku ke dalam lubang api ini.
Sudah tiga bulan lamanya, tapi dia masih tidak menyerah, bahkan sudah menerima mahar dari Sandi!
Keterlaluan!
Rendi menganggap keheninganku sebagai tanda setuju. Dia memegangi rokok lalu melihatku sambil tersenyum, “Satu miliar tiga ratus dua puluh juta rupiah, emm, tidak mahal, kamu pantas dengan harga ini. Aku lipat gandakan dan kamu ikut denganku, bagaimana?”
Awalnya aku ingin menjelaskan padanya, namun saat ini hatiku terasa sedih dan rapuh. Aku benar-benar membutuhkan sebuah pelukan hiburan agar bisa melarikan diri dari masalah ini untuk sementara, namun aku tidak menyangka Rendi akan mengatakan seperti ini. Hal ini membuatku merasa diriku hanyalah sebuah produk jualan yang diletakkan di atas rak, tidak punya harga diri, siapa yang menawarkan harga tinggi maka siapa yang akan mendapatkannya. Akan tetapi, aku benar-benar laris sekali, bahkan teman seks aku juga ingin ikut menawarkan harga, he he.
Pikiran indah saat aku mandi tadi, seperti tamparan keras pada saat ini, membuatku merasa malu.
“Aku dan tunanganku bersama karena cinta, karena cinta, paham? Bukan dengan sedikit uang busuk itu lalu dapat membelinya. Tapi orang sepertimu ini hanya tahu membeli wanita dengan uang, tidak akan mungkin bisa mengerti.” Karena emosi, tubuhku sedikit gemetar, tetapi aku tidak ingin kalah dari keadaan ini, Aku berpura-pura bersikap santai, melawannya dengan kata-kata.
“Cinta?” Rendi seperti mendengar lelucon besar, “Sambil berkencan denganku?”
Aku tertampar keras dengan apa yang dia katakan, tapi aku tetap mempertahankan ketenangan, “Aku dan tunanganku melangsungkan pernikahan kilat, aku kemari hari ini untuk menjelaskannya padamu, hubungan kita berakhir sampai di sini saja. Setelah malam ini, ke depannya kita tidak ada hubungan lagi.”
Rendi menatapku dengan suram, lalu dia tertawa dengan sikap playboy, “Jika kamu tidak puas, aku juga bisa menaikkan harganya. Aku sudah biasa tidur denganmu jadi tidak ingin ganti dengan orang lain. Lagi pula kamu tahu banyak tentangku, aku juga tahu banyak tentangmu. Kebahagiaan besar ini tidak dapat diukur dengan uang.”
Dia mengangkat sudut bibirnya dan tersenyum menyindir, lalu dia menghembuskan kepulan asap ke wajahku,“Sedangkan tunanganmu itu, biarkan dia membuka harga juga.”
Seketika aku tersedak dan batuk sampai mengeluarkan air mata, sedangkan dia tersenyum, menikmati rasa maluku dengan penuh kepuasan, benar-benar sikap seorang playboy.