hotbuku

Let’s Read The World

Open APP
Tante Retno I Love You

Tante Retno I Love You

Author:Kristiana0909

Roman Dewasa | Finished

Introduction
Riosandi Gumilang, seorang pria berusia 26 tahun yang telah menyelesaikan pendidikannya namun sayangnya karena pandemi hingga detik ini ia belum memiliki pekerjaan tetap walau sudah ratusan lamaran ia masukkan ke berbagai perusahaan. Karena ingin membuktikan kepada orangtuanya bahwa ia bisa hidup mandiri tanpa sokongan dana dari keluarga, akhirnya ia mencoba bertahan hidup di kost yang telah ia tinggali sejak pertama kali berkuliah di Jogja. Kini, saat tawaran pekerjaan sebagai seorang supir mampir kepadanya, dengan mengesampingkan gengsi, ia mencoba menerimanya namun siapa sangka ia akan menjadi supir dari Tri Retno Wahani, janda tanpa anak berusia 39 tahun yang cantik, seksi bahkan sering membuat Rio panas dingin dan senam jantung hanya dengan menatapnya dari jauh.
Show All▼
Chapter

“Begini nasib jadi bujangan, kemana mana asalkan suka, tiada orang yang melarang. Hati senang walaupun tak punya uang,” suara sumbang diiringi petikan gitar memecah kesunyian di pos 2 gunung Merbabu via Selo malam ini.

“Nyaring amat Lo nyanyinya, Ri?" Kata Juna sambil menikmati kopi hitamnya.

“Ya ginilah, Mas. Nasib pengangguran banyak acara alias pengacara kaya gue. Sudah hampir dua tahun gue lulus kuliah, tapi kagak dapat kerjaan terus.”

“Kenapa Lo nggak nyoba untuk buka persewaan alat-alat gunung. Lumayan koleksi Lo kalo di komersilin.”

Rio menghela nafasnya dan menatap Juna dengan pandangan malas.

“Tanpa Lo ngomong juga gue sudah buka dari jaman kuliah dulu. Kalo enggak gimana bisa gue mencukupi kebutuhan harian gue.”

Kini Juna menaruh cangkir kopi stainless steel-nya di tanah dan menatap Rio dengan tatapan penuh menganalisa. Riosandi Gumilang, sosok kaki-laki yang Juna kenal sejak masih berada di bangku kuliah semester 3 dan kini ia telah menyelesaikan pendidikan strata duanya dan mendapatkan gelar sarjana seni. Walau tidak tergolong lulusan cumlaude, Rio cukup berotak. Sayangnya jurusan yang Rio ambil tentu tidak dibutuhkan di perusahan miliknya sehingga Juna tidak bisa mengajak Rio untuk bergabung bersamanya. Padahal Rio juga masih memiliki tugas untuk menyelesaikan kuliah administrasi bisnis sesuai keinginan orangtuanya. Bahkan Juna cukup salut ketika melihat Rio bisa santai tanpa terlihat stress karena masalah tuntutan kelulusan di jurusan administrasi bisnis dari orangtuanya. Karena bagaimanapun kuliah di jurusan yang tidak sesuai dengan pilihan hati tentulah berat untuk dijalani.

“Asal job wedding sama prewedding lancar aja, Bro. Ingat ya, kerja itu nggak harus kantoran dan berdasi yang penting dompet Lo kagak pernah kempes," kata Prima pada Rio.

“Kempes nggak masalah selagi saldo di ATM nya nggak berseri kaya mas Juna,” kata Manda yang membuat Juna hanya tersenyum dan teman-teman pendakiannya kali ini tertawa cekikikan.

“Ya iya lah, kalo duitnya kempes kaya gue, gimana bisa ikutin gaya hidup Mbak Nada dan geng-nya? Bayangin tas yang ditenteng bininya mas Juna aja bisa buat beli rumah satu tipe 36 masih sisa dapat mobil sebiji,” Kata Rio disela sela tawanya.

“Gue doain bini Lo besok kaya raya, biar Lo tinggal ongkang-ongkang dirumah.”

“Aamiin,” kata Rio sambil mengelap mukanya dengan kedua tangan.

***

Walau sudah sering kali naik turun gunung dan tak terhitung jumlahnya sejak ia masih SMP tetap saja badan Rio remuk redam dan kakinya pegal-pegal setelah melakukan pendakian. Kalo ada yang bilang mendaki itu tidak membuat lelah dan tetap strong, tolong dicek saja, mungkin yang ia naiki adalah gunung kembar yang menggantung dengan sempurna dan indah di tubuh seorang wanita bukan gunung sungguhan.

Siang ini Rio turun dari Jeep Gladiator Rubicon milik Juna dengan wajah lesu dan yang ingin ia lakukan adalah tidur. Kini uang di dompetnya hanya tersisa gambar Kapitan Pattimura. Tentu saja itu tidak akan cukup untuk membeli sebungkus nasi angkringan.

“Thanks ya, Mas, Lo sudah mau antar gue sampai kost. Nggak mampir dulu, Mas?”

“Sama-sama. Nggak usah soalnya bini gue lagi pergi sama Mama. Kasian Papa jagain sikembar sendirian. Gue duluan ya? Bye.”

“Bye, Mas.”

Kini Rio berjalan menuju kamar kostnya yang berada di paling belakang bangunan kost dua lantai ini. Saat sampai di depan kamarnya ia melihat Mika, adik angkatannya di jurusan administrasi bisnis.

“Mas Rio,” sapa Mika ramah.

Rio hanya tersenyum. Ya, Mika adalah sosok perempuan incaran laki-laki di kampus karena cantik, seksi dan tentunya berasal dari affluent society. Berbeda dengan dirinya yang berasal dari middle class.

“Kok Lo bisa ada di kost gue siang-siang begini?” tanya Rio tanpa basa basi pada Mika.

“Iya, Mas. Sebenarnya pingin ngajakin nonton, Mas Rio, mau?”

Rio hanya tersenyum tipis, jangankan untuk nonton, yang di dompetnya saja tinggal seribu rupiah. Mungkin untuk makan nanti ia harus menyembelih celengan ayam miliknya.

“Sorry ya, Mik, bukannya gue nggak mau, tapi gue capek. Lagipula pengangguran kaya gue gini harus selektif ngeluarin duit.”

“Mas Rio kan masih belum wisida, jadi ya wajar belum dapat kerja.”

Rio paling malas menerangkan kepada orang lain bahwa ia sudah pernah diwisuda bahkan dua kali, sayangnya bukan di jurusan administrasi bisnis. Ia lebih memilih disebut mahasiswa abadi karena ia pernah mengambil cuti dua semester untuk menyelesaikan tesisnya.

“Mending Lo bantuin gue cari kerja aja. Nanti kalo gue sudah dapat gaji pertama, gue traktir nonton.”

Mika yang memang sudah naksir Rio sejak pertama kali bertemu dengannya tentu saja tersenyum bahagia mendengar perkataan Rio ini.

“Serius, Mas?”

“Iya.”

“Kriteria kerjaan yang Mas Rio cari itu apa aja? Coba sebutin?”

Pertanyaan yang bagi Rio sangat lucu dan itu membuatnya tersenyum sambil memandang Mika. Mika yang dipandang Rio seperti itu sudah panas dingin. Seorang Riosandi Gumilang menatapnya dengan senyum teduhnya, hmm, Mika jadi makin salah tingkah dibuatnya.

“Gue nggak punya kriteria harus apa. Selagi pekerjaan itu halal, tidak melanggar hukum dan gajinya cukup untuk bayar kost beserta makan harian aja sudah Alhamdulillah. Nggak perlu kantoran apalagi milih-milih kerjaan.”

“Berarti soal gaji nggak masalah nih kalo UMR?"

“Nggak masalah. Buat gue yang penting berpenghasilan.”

“Okay. Gue bantu Mas Rio cari kerjaan.”

Rio hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda persetujuan.

“Kalo gitu sekarang Lo bisa pulang dulu ya? Gue mau istirahat habis naik ke Merbabu soalnya.”

“Okay, Mas," jawab Mika singkat namun senyum tidak hilang dari wajahnya. Demi menjadi pacar Rio, ia rela menurunkan ego-nya. Apalagi Rio anak mapala, tentu saja perempuan manja mungkin tidak akan diliriknya.

Setelah itu Mika langsung tancap gas menggunakan Honda HRV putihnya untuk menuju ke salah satu Mall di Jogja. Seperti biasa ia akan kongkow bersama teman-temannya. Sepeninggal Mika, Rio memasuki kamarnya dan meletakkan tas gunung berukuran 80 liter itu di pojokan tembok. Ia langsung merebahkan dirinya di kasur dan tidur. Baginya, mendaki adalah cara untuk menghilangkan insomnia, pikiran yang melantur bahkan melupakan masalahnya dengan kedua orangtuanya. Kini Rio harus segera memikirkan, apakah ia rela di drop out dari kampus jurusan administrasi bisnis sebagai kampus pilihan orangtuanya atau tetap berpegang teguh pada prinsip dan pendiriannya bahwa ia akan tetap menjadi seorang fotografer dan bisa bekerja untuk majalah-majalah fashion suatu hari nanti. Sayangnya mata Rio sulit terpejam kali ini, apalagi jika memikirkan uangnya yang sudah sangat menipis untuk kebutuhan hidupnya ditambah seminggu lagi ia harus membayar kostnya. Tidak mungkin ia mau meminta kepada orangtuanya yang masih juga menyekolahkan sang adik di jurusan kedokteran. Tentu saja biaya pendidikan sang adik cukup besar dan Rio tidak tega memberatkan orangtuanya.

***