hotbuku

Let’s Read The World

Open APP
YUDISTIRA

YUDISTIRA

Author:karlinha

Emosi perkotaan | Finished

Introduction
“Kalian tidak bisa manjadi satu karena darah yang mengalir dalam nadimu dan dirinya.” Yudistira tidak ingin dengar lagi ucapan dari wanita yang ada di depannya. Dunianya runtuh seketika. Ia beranjak tanpa pamit. Yudistira hidup berkelimpahan tetapi tidak mendapatkan panutan bagaimana menjadi suami dan ayah yang baik. Ia dibesarkan dalam bimbingan ibunya yang alami gangguan pada indera pendengaran. Meski demikian, ibunya tetap setia mendukung Yudistira dan saudaranya, sampai mereka dewasa. Yudistira lalu tumbuh menjadi pemuda yang menguasai aset berharga, warisan dari papanya. Tetapi, ada jejak lain yang ia dapatkan yang mengharuskan Yudistira berjuang melindungi ibunya dari ancaman salah satu gundik papanya, setelah pria itu wafat karena penyakit AIDS. Yudistira mulai mengenal cinta namun pada orang yang salah. Ia sempat patah hati dan menjadi dingin pada kaum hawa. Lalu Yudistira terus melajang sampai ibunya yang menjadi kekasih sejatinya, dikebumikan. Seorang perempuan bernama Agni berhasil merenggut hati Yudistira dan mereka menikah. Sayangnya, upaya Yudistira untuk meraih bahagia belum berakhir. Ia baru memiliki anak kandung di tahun kedelapan mahligai ikatan suami istri yang hampir retak karena orang terdekat. Sampul: Gambar dari Pexels dan desain di Canva
Show All▼
Chapter

“Kamu sudah bersiap untuk berangkat?” suara lembut Paula membuat Jordan berpaling. Meninggalkan sejenak aktivitasnya mengancingkan jaket jasnya.

Cuaca di daerah tempat tinggal mereka memang sudah memasuki musim dingin. Padang luas membentang di atas bukit di mana mansion mereka berada. Udara menusuk ke tulang belulang penghuninya, jika tidak menebalkan busana.

Sudah bukan pengalaman baru lagi bagi Paula, secara rutin ditinggal pergi oleh suaminya Jordan, selama berhari-hari.

Untunglah mereka baru saja mengenal teknologi ponsel sehingga sebentar lagi jarak sudah tidak lagi masalah bagi mereka berdua. Benua tempat mereka berpijak sudah terjamah oleh canggihnya kehidupan kota metropolitan.

“Aku akan terus memberi kabar padamu dan anak-anak. Kita akan lakukan panggilan video segera setelah satelit dipasang oleh petugas beberapa hari lagi. Mereka masih mencari waktu yang tepat.”

“Kapan mereka datang?”

“Sepertinya akan ada badai dalam minggu ini, menurut ramalan cuaca. Mungkin setelahnya.”

Paula mendekat lalu membantu menyelesaikan kancing terakhir pada jaket suami tercintanya.

Jordan mendaratkan labiumnya pada dahi istrinya sebagai tanda selamat tinggal. Mereka pasti akan bertemu kembali.

Di saat yang sama, kepala Paula sebenarnya terasa pusing. Tetapi ia adalah istri yang mandiri. Jarang mengeluh sakit di depan suaminya. Semuanya karena ia dibesarkan sebagai anak tunggal dari keluarga pekerja keras.

Keturunan Van Wick merupakan nama besar dari keluarga Paula. Ia menikah dengan Jordan de Zeus dan dikaruaniai empat orang anak yang cantik dan tampan. Dua orang putra dan dua orang putri.

‘Argghh, pening ini menggangguku. Aku mungkin butuh berbaring,’ batin Paula sambil mengekori langkah suaminya.

Jordan selalu pamit pada anak-anaknya. Akan ia ciumi satu per satu sebagai bentuk tanda sayang dan juga bentuk berkat tak terucap bagi setiap keturunannya. Perhatian seorang ayah melalui sentuhan.

Mereka berempat sedang ada di ruang televisi.

“Jaga Mami kalian,” pesan Jordan pada Yudistira yang sering disapa Yura. Anak keduanya yang berusia delapan tahun.

“Papi tidak ingin makan malam dulu bersama kami?” tanya Roxana de Zeus, putri pertamanya yang cantik. Nama panggilannya, Oxa. Di usianya yang baru sembilan tahun, ia sudah tampil seperti seorang gadis bangsawan. Sangat memikat dalam bertutur dan bersikap. Ia memang mengikuti kelas sopan santun di sekolah putri.

“Papa akan makan begitu sampai di kota, Oxa Sayang. Papa masih kenyang. Jaga adik-adik kamu.”

Lalu secara berurutan Jordan menggendong Calista de Zeus, gadis tujuh tahun yang selalu menjadikan Roxana sebagai panutan. Lalu berpindah pada Arthur de Zeus, si bungsu enam tahun yang menggemaskan.

“Hati-hati di jalan, Papi!” seru keempatnya serempak.

Mereka menatap Jordan yang langsung masuk ke dalam mobilnya, dengan sopir yang sudah menanti membuka dan menutup pintu.

Mobil mini cooper hitam itu meluncur mulus melewati pekarangan mereka yang luas, menembus pintu pagar.

Jordan punya kantor di kota. Letaknya sekitar satu jam perjalanan darat dari tempat mereka bermukim. Ia punya kamar untuk bermalam di sana sehingga terkadang ia hanya kembali ke mansion di akhir pekan. Setidaknya setiap bulan, akan ada waktu di mana ia tidak berada di mansion.

“Mami!” seru Arthur nyaring saat melihat ibunya terhuyung jatuh tergeletak di atas karpet lantai.

Yura dan Oxa sigap meraih tubuh ibunya sambil berteriak nyaring, “Aunty, tolong Mami!”

Tergopoh-gopoh seorang wanita paruh baya yang dipanggil Oxa muncul dari arah belakang.

“Ada apa, Oxa teriak-teriak?”

“Mami jatuh. Sepertinya pingsan.” Oxa tampak cemas begitu pula ketiga adiknya.

“Apa kita menelepon papi supaya bisa kembali. Papi harusnya belum terlalu jauh!” usul Yura.

“Tidak, Yura. Ingat pesan, Mami. Tidak boleh mengganggu papi kalau sedang bekerja. Papi pergi dari rumah untuk bekerja.”

“Tapi ini malam hari dan akhir pekan. Ini hari Minggu. Papi tidak bekerja di malam hari!” protes Yura tidak terima alasan kakaknya.

Roxana terdiam. Memang masuk akal apa yang Yura sampaikan.

“Sudah, tidak usah bertengkar. Mungkin Mami kalian hanya pusing. Yura, bantu Aunty bawa alas kaki Mami ke kamar. Oxa, tolong telepon dokter Rudolf saja. Minta beliau untuk datang sekarang. katakan kalau Mami tidak sadarkan diri.”

Aunty menggendong tubuh mungil majikannya untuk dibawa ke dalam kamar utama. Berat badan Paula sekitar 64 kg.

Roxana memandang Arthur dan Calista yang masih berdiri tegap. Biasanya mereka berdua paling ribut dan sering bertengkar. Tidak pernah ada yang mau mengalah. Tetapi, kali ini keduanya seperti sedang bingung.

Rozana berlutut di dekat keduanya agar pandangan mata mereka bisa sejajar.

Ia meraih tangan mungil mereka lalu berkata, “Mami tidak apa-apa. Mungkin hanya lelah. Sekarang kalian boleh bermain. Tapi, tidak boleh ribut atau bertengkar biar Mami bisa istirahat.”

“Apa Mami akan mati?” tanya Calista polos.

“Hush! Tidak boleh bicara seperti itu,” sanggah Oxa menggoyang kedua tangan yang ada di genggamannya.

“Orang tua memang banyak pikiran. Hanya butuh tidur sebentar saja dan mami akan pulih dan bisa bermain bersama kalian lagi.”

Calista mengangguk. Arthur juga membeo. Roxana mencium pipi keduanya bergantian lalu menuju meja telepon.

Daftar nomor kontak penting sudah ada di samping pesawat telepon.

Roxana berhasil berbicara dengan seseorang di seberang. Lalu ia tutup kembali telepon dan duduk di depan televisi di samping adik-adiknya.

Kurang dari tiga puluh menit, dokter Rudolf menekan bel pintu.

Oxa langsung membukanya dan mengantar dokter keluarga mereka itu langsung ke kamar ibunya.

Yura yang sedang duduk di sofa kamar, menunggui Paula.

“Di mana papi kalian?” tanya dokter pada Oxa dan Yura yang sudah berdiri berdampingan di ujung tempat tidur.

Tak lama kemudian Aunty muncul. Ia mendengar bel pintu tapi saat ingin membuka ternyata Arthur bilang tamunya sudah bersama Roxana.

“Tuan Jordan sudah berangkat ke kota.” Aunty menjawab pertanyaan dokter sebelum keceplosan dijawab anak-anak.

“Kalian bisa keluar sekarang. Biar dokter yang memeriksa Mami. Ia hanya pingsan sebentar saja.”

Oxa menarik tangan Yura yang masih tidak ingin meninggalkan ibunya sendirian.

“Apakah Paula sudah pernah pingsan seperti ini sebelumnya?” ujar dokter.

“Belum pernah, Dok. Ini pertama kalinya.”

Dokter membalurkan minyak di sekitar hidung Paula. Lalu ia cek detak jantung dengan stetoskop. Setelah itu ia lanjutkan dengan mengecek tekanan darah dengan mesin tensimeter.

Tak lama kemudian, terlihat kepala Paula mulai bergerak.

“Nyonya sepertinya mulai siuman,” seru Aunty.

Dokter Rudolf yang sedang merapikan tasnya langsung mendekat ke wajah Paula dan memeriksa matanya.

“Apa yang kamu rasakan?” tanya Rudolf lembut. Ia sambil menjauh setelah memandang ke dalam bola mata pasiennya sesaat. Menjaga jarak dengan istri Jordan de Zeus.

Paula mengerjapkan matanya beberapa kali barulah ia menangkap sosok dokter keluarga mereka dan juga asisten setianya.

Tapi ada yang berbeda. Paula mengernyit. Semuanya begitu hening. Ia seperti ada di sebuah ruangan yang sangat tenang. Kepalanya masih nyeri. Namun timbul dan tenggelam rasanya. Kadang nyeri tapi menghilang barulah kembali hadir rasa sakitnya.

Ia menatap asistennya dan juga dokternya yang sedang membuka mulut mereka berulang kali. Masalahnya, Paula tidak paham apa yang mereka maksud.

Paula tidak memberi respon sama sekali. Ia hanya menatap kedua orang tersebut secara bergantian.

Belum Tamat

Hai readers, kita kenalan yuk! Kontak author di Wa.me//6281339235692 untuk ngobrol bareng dan pastinya banyak hadiah menarik yang menanti. Ditunggu, ya!