Bab 1. The Wedding
1
Bu Ade duduk dengan anggun di atas sofa pengantin yang berukuran besar. Dia sudah dihias sangat cantik bak bidadari dengan busana pengantin lengkap. Di sebelah kanannya duduk sang ibu yang menggenggam jemarinya dengan erat. Beliau mendampingi putri tercintanya yang tampak sedikit tegang.
Tak jauh berbeda juga dari Krisna, jantung lelaki muda itu berdebar tak karuan ketika penghulu memberi isyarat ijab qobul akan dimulai. Krisna dan beberapa orang ikut masuk ke kamar pengantin termasuk ayah mertuanya yang duduk di lantai beralaskan permadani. Upacara ijab qobul seketika menyulap keadaan menjadi khidmat dan hening. Di antara keheningan itu terdengar suara yang penuh kemantapan dari lisan Krisna.
"Sah," sahut penghulu yang diikuti oleh mereka semua yang hadir yang menyaksikan lewat layar besar yang berada di ruangan yang cukup luas tersebut.
Doa-doa selamat kemudian dipanjatkan untuk dua sejoli yang baru saja dipersatukan oleh sebuah ikatan sakral yang disebut pernikahan. Bu Ade menyeka sudut matanya. Perasaannya saat itu campur aduk. Rasa bahagia bercampur dengan rasa haru. Hari itu ia menjalani pernikahan untuk yang kedua kalinya, dengan suami yang kedua, yang harapannya menjadi suami yang terakhir, Krisna.
"Semoga ia menjadi jodoh terakhirku dan jodoh selamanya dalam hidupku," batin Bu Ade.
Setelah acara sakral ijab qobul berakhir, kedua mempelai masih harus menjalani serangkaian resepsi yang akan dihadiri oleh banyak tamu undangan, sahabat, rekan kerja, dan teman sekolah.
Bu Ade tengah sibuk melepaskan aksesoris pengantin yang melekat di tubuhnya. Dia duduk tengah menghadap sebuah cermin besar tanpa adanya meja rias. Kamar luas dari kamar pengantin memang tidak ada meja riasnya.
Kini di kamar itu hanya tinggal dua mempelai yang baru saja meresmikan hubungannya. Keduanya sama-sama sibuk melepas baju yang melekat di tubuh masing-masing. Sesekali Krisna melirik istrinya. Ia ingin meminta bantuan istrinya untuk melepaskan sarung yang melilit pinggangnya dengan ketat.
Sudut mata Bu Ade menangkap lirikan berkali-kali dari laki-laki yang hari ini sudah sah secara agama dan hukum sebagai suaminya.
"Mau dibantu, Mas?" tanya Bu Ade saat menangkap sinyal itu.
"Seorang istri itu harus peka, tanpa menunggu disuruh kan?" sindir Krisna.
"Kamu bukakan, Sayang!" seru Krisna sambil menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Badannya telentang dengan kedua tangan direntangkan di atas ranjang.
"Tapi, aku merasa tidak enak, Mas. Di luar masih banyak tamu. Mereka pasti menunggu kita untuk memberikan ucapan selamat," ujar Bu Ade karena memang situasinya saat itu seperti itu.
Krisna beringsut untuk mengambil ponselnya di nakas dekat ranjang. Setelahnya ia kembali telentang pada posisi semula.
"Security, perketat penjagaan pintu kamar pengantin. Istriku merasa tidak nyaman kalau tiba-tiba ada yang datang mengganggu." Krisna melemparkan ponselnya ke sembarang arah lalu meletakkan tangannya di bawah kepala untuk dijadikan bantal. "Mudahkan, Honey?" sebuah panggilan baru yang Krisna peruntukkan untuk istri cantiknya. Krisna menaikkan satu alisnya dan menatap istrinya dalam.
Sedangkan Bu Ade, manik matanya yang sehitam jelaga membulat sempurna. Mulutnya sedikit menganga mendengar ucapan suami gantengnya.
Wanita yang kini sudah sah menjadi istrinya Krisna itu menggigit bibir bawahnya. Dia tampak bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Haruskah ia melayani suami gantengnya saat itu juga? Sedang di luar masih banyak tamu yang menunggu untuk memberikan ucapan selamat.
"Ayo, Honey! Tubuhku rasanya sudah memanas."
Bu Ade menarik nafas panjang, mengisi rongga dadanya yang sudah hampir sekarat karena kekurangan oksigen. Tampak di depannya tubuh suaminya yang sudah telanjang dada tanpa aksesoris apa pun. Di hati Bu Ade merasa beda memandang tubuh suaminya saat belum menikah dan saat sudah menikah.
Bu Ade kini duduk di tepi ranjang melepas satu per satu aksesoris yang masih melekat di tubuh suami gantengnya. Dia melakukannya dengan pelan dan hati-hati seperti sedang menyentuh sebuah benda yang sangat berharga. Bu Ade melakukan semua itu dengan menggunakan jari-jari lentiknya agar tidak menimbulkan sentuhan yang mampu membuat suaminya impulsif karena di luar masih banyak tamu. Dia juga berusaha untuk tidak menghiraukan tatapan tajam suaminya yang sedang memindai wajahnya.
Semua aksesoris di tubuh Krisna kini sudah terlepas dengan sempurna. Tak ada satupun yang tertinggal, kecuali baju dan celana dalamnya.
"Sudah, Mas. Sekarang silakan berdiri!"
"Aku lebih suka begini, Honey. Capek jika harus berdiri," jawab Krisna tak kalah lirih yang diiringi senyum tipis di sudut bibirnya.
"Kalau sambil berbaring baju dan celananya sulit dilepas, Mas," protes Bu Ade.
"Tak apa-apa Honey, nanti aku bantu lepas. Tapi setelahnya kita gantian," tegas Krisna.
"Tapi, saya bisa berdiri sendiri, Mas," protes Bu Ade lagi.
Krisna tertawa geli mendengar jawaban istri cantiknya. Sementara, Bu Ade setelah menikah diam-diam semakin mengagumi suaminya karena di matanya suaminya semakin bertambah ganteng dan tampan. Tapi siang ini jelas bukan waktu yang tepat untuk menuruti keinginan suaminya. Bu Ade akhirnya menelan salivanya yang nyaris membuatnya tersedak.
"Krisna...., Ade....., kalian sedang apa? Buka pintunya!" teriak ibunya, Bu Ade dari luar pintu.
"Krisna, kamu mau apa? Jangan kerjai istrimu, ini masih hari!" cerca ibu mertua yang nyelekit di telinga Krisna.
Krisna mendengus kesal karena panggilan ibu mertuanya yang dirasa sangat mengganggunya. Seketika ia melompat berdiri di atas kasur yang diikuti oleh Bu Ade. Tidak lama kemudian ia beranjak dan melangkah dengan gontai membuka pintu kamar yang masih terus diketuk oleh ibu mertuanya.
"Ada apa, Bu? Pintunya nanti bisa roboh, bagaimana?" tanya Krisna yang penasaran dengan kedatangan ibu mertuanya.
"Mana Ade? Kalian harus makan dan juga istirahat. Nanti malam masih ada acara lagi. Kondisi kalian harus dalam keadaan prima. Nanti malam masih banyak undangan yang hadir. Kalian paham kan?"
Krisna masih mematung di depan pintu. Dia sengaja tidak memberi jalan pada ibu mertuanya untuk masuk.
"Iya, Bu." Krisna hendak menutup pintunya kembali.
"Mana, Ade?" tanya ibu mertuanya kembali sebelum Krisna sempat menutup pintu.
"Iya, Bu," sahut Bu Ade dari balik punggung suaminya. Bu Ade tersenyum dengan raut yang dipenuhi kebahagiaan.
"Buka dulu pintunya, Na!" pinta ibu mertuanya yang melihat sikap menantunya seakan mengulur waktu.
Krisna hanya bisa mendesah mendengar semua permintaan mertuanya. Jadi, begini rasanya punya mertua.
Bersambung
Manteman, selamat bertemu dengan cerita terbaruku. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat, dan kejadian, cerita ini hanya fiktif belaka. Semoga suka!
Happy reading