"Bu, bagaimana jika dia lebih rela mati daripada menikah?"
"Tenanglah, Keluarga Lingga tidak peduli apakah pengantin wanita itu hidup atau mati. Bahkan jika itu pengantin itu sudah mati, pernikahan itu tetaplah akan berjalan!"
......
Di hari yang malam, suatu villa yang terletak di Bali, karena Keluarga Gunawan sedang merayakan kedua putrinya yang akan menikah di hari yang sama, suasana di Villa sangatlah ramai dan ceria.
Mengenakan gaun pengantin ala Bali yang berwarna biru muda, Cindy duduk di depan cermin dan mengutak-atik perhiasan ala Bali yang ada di kepalanya.
Memikirkan momen menikahi pacarnya yang sudah berpacaran selama dua tahun, dia tidak bisa menahan senyumannya yang memancarkan kecantikannya itu.
"Aku benar-benar iri kakak bisa begitu beruntungnya bisa menikah di Bali dengan keluarga kelas atas seperti Keluarga Wendi."
Linda yang sedang mengenakan pakaian pernikahannya berjalan masuk dengan nada suaranya yang masam. Dia bahkan tidak mengucapkan ucapan selamat sama sekali.
Dia menjadi lebih iri dan marah terutama setelah melihat wajah cantik Cindy setelah dirias.
Meskipun keduanya adalah saudara, wajah mereka terlihat jauh berbeda.
Linda merasa wajah Cindy mirip dengan wanita jalang ibunya yang suka menggoda para pria dengan penampilan cantiknya.
Meskipun Cindy mendengarkan ucapan Linda dengan nada yang datar, nada yang tidak berat atau ringan, tapi tetap saja masih bisa merasakan kata-kata tajamnya: "Bagaimana pun juga aku harus mengucapkan selamat pada adik. Meskipun Tuan Muda Agus mengalami kecelakaan mobil dan menjadi cacat, tetapi tetap saja dia pernah menikahi banyak orang. Dia pasti bisa sangat menyayangi istrinya. Bahkan jika kamu menikahi dia dan sendirian disana itu sudah cukup bagus, iya kan?"
"Kau!" Linda tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
Sama-sama anak perempuan dari Keluarga Gunawan, tapi bagaimana dia bisa dinikahi dengan seorang yang cacat sedangkan Cindy dapat dengan bahagianya dan penuh berkahnya menjadi nyonya Keluarga Wendi?
Memikirkan hal ini, wajahnya menjadi lebih dingin.
"Sangat pas sekali! Sekarang kalian semua ada disini. Sebentar lagi pengantin pria akan datang menjemput. Cepatlah minum sup anggurnya supaya hari ini bisa menjadi hari yang baik dan beruntung!"
Ketika suasana antara dua saudara perempuan ini masih tidak baik, tiba-tiba Felicia yang sedang tersenyum membawa dua sup yang diseduh anggur ke dalam ruangan.
Sebenarnya sup anggur itu seharusnya disiapkan oleh ibu pengantin, tetapi karena ibu kandung Cindy sudah meninggal dunia jadi sup anggur ini dibuat oleh ibu tirinya.
Meskipun Cindy tidak terlalu percaya dengan ibu tirinya, tetapi hari ini adalah hari bahagia, jadi dia mau tidak mau harus minum sup anggur ini.
Dia mengambil salah satu mangkuk supnya dan minum satu teguk.
"Pernikahan sangatlah melelahkan. Makan begitu sedikit tidaklah cukup, harus lebih banyak." Felicia melihatnya yang makan begitu sedikit mengeluarkan dua tetes air mata buayanya.
"Meskipun kamu bukan anak kandungku, tetapi bagaimanapun juga aku yang membesarkanmu selama 10 tahun lebih. Orang-orang bilang ibu tiri tidaklah semulia ibu kandung, tetapi lihatlah kalian berdua yang sudah mau menikah. Aku benar-benar tidak rela."
Melihat Felicia yang menutupi wajahnya untuk mengelap air matanya, hati Cindy hanya penuh dengan ejekan.
Bagaimanapun juga, Felicia adalah aktris yang sudah berakting bertahun-tahun di industri hiburan. Tidak mengejutkan lagi dia bisa berakting begitu bagusnya.
Ibunya barusan saja meninggal tiga bulan yang lalu, ayahnya bahkan sudah begitu tidak sabarnya menikahi Felicia dan membawa mereka ibu-anak ini untuk tinggal di dalam rumah mereka.
Ayahnya berkata kepadanya bahwa Linda adalah adik perempuannya, jadi dia harus menjaganya dengan baik...
Pada saat itu dia masih berusia sembilan tahun dan Linda berusia delapan tahun.
Ini berarti setelah ayahnya barusan nikah satu tahun, dia sudah berhubungan dengan Felicia.
Ibu tiri yang begitu banyak skemanya ini bagaimana mungkin bisa berhati tulus terhadapnya.
"Nyonya, Nona, Keluarga Wendi sudah tiba." Seorang pembantu menjerit dari luar ruangan.
"Ya" Felicia dengan tersenyum sambil menyerahkan kipas wajah bersulam, dan berkata: "Cindy, hari bahagiamu telah tiba, mari kita pergi."
Dengan kipas wajah yang menutupi wajahnya, Cindy tidak bisa melihat skema-skema licik di wajahnya. Cindy menundukkan kepalanya, mengikuti pembantu dan naik ke dalam mobil pernikahan.
Melihat mobil yang semakin jauh, Felicia merasa permasalahannya akhirnya sudah ditanganinya dengan baik.
Linda yang masih muda ini tiba-tiba merasa panik dan khawatir.
"Bu, tidak ada kesalahan lagi kan? Bagaimana kalau dia tiba-tiba sadar di pertengahan jalan dan kabur?"
"Tenanglah, semua sudah kuatur. Gadis jalang ini tidak bisa kabur lagi."
Mobil yang dinaiki Cindy adalah mobil Keluarga Lingga, bukanlah mobil Keluarga Wendi.
Linda tetap saja masih khawatir: "Tapi, saya bukanlah Cindy... bagaimana jika nanti..."
"Apa yang kamu harus takuti?" Lagi pula, kamu harus menutupi wajahmu dengan cadar saat pernikahan. Kamu hanya harus taruh obat ini ke dalam minumannya, nasi telah menjadi bubur. Jika Keluarga Wendi mengetahuinya di hari kedua setelah pernikahan, mereka juga tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
Felicia menaruh bungkusan obat itu ke tangan Linda.
Setelah mendengarkan perkataannya ia menjadi tenang, Linda menyimpan obatnya, wajahnya penuh dengan kelicikan: "Lihatlah nanti saat aku sudah menjadi Nyonya Wendi, aku akan buat Cindy hidup menderita!"
Felicia memegang tangan putrinya dan berkata dengan dingin: "Banyak sekali pengantin baru Keluarga Lingga yang disiksa sampai mati. Cindy tidak dapat hidup sampai malam ini. Kamu tidak perlu mengotori tanganmu dengan permasalahan ini."
......
Di dalam mobil pengantin ini, Cindy tiba-tiba merasa tidak nyaman, tubuh terasa sangat panas, seperti sedang terbakar.
Mengingat sup anggur yang dia makan sebelumnya, hatinya merasa tidak enak.
Tidak disangka dia telah menjadi salah satu skema Felicia lagi saat ini.
Aku telah diberi obat!
Cindy melihat ke luar jendela. Saat melihat mobil tidak berjalan ke arah rumah Keluarga Wendi, Cindy buru-buru menepuk jendela dengan tangannya dan berteriak: "Berhenti, hentikan mobil, kamu menjemput orang yang salah!"
Supir yang tidak tau apa-apa ini bahkan tidak menoleh kepalanya. "Janganlah bercanda. Gaun biru muda ala Bali ini dan gaun kristal bordir ini adalah mahar pernikahan yang dikirim oleh si Tuan. Tidak mungkin salah."
Felicia ternyata dari awal sudah merencanakan hal ini!
Kemarahan yang meluap-luap di hatinya memperkuat efek obat dalam tubuhnya.
Tubuh Cindy melemas, napasnya terasa berat, dan dia merasa pusing.
Menggunakan tenaga sekuatnya, Cindy membuka pintu dan melompat keluar mobil.
Felicia mencoba menghancurkannya dengan cara keji seperti ini.
Bahkan jika dia mati, dia tidak akan membiarkannya berhasil begitu saja!
Si supir tidak menyangka bahwa pengantin wanita di dalam mobil dapat melompat keluar dari mobil dan melarikan diri.
Cindy berguling-guling di atas tanah, dan rasa sakit yang intens ini membuatnya menjadi lebih sadar diri.
"Nona Gunawan, jangan lari ...."
Melihat mobil berhenti dan si supir yang sedang mengejarnya, Cindy mengertakkan giginya, menahan rasa sakitnya dan berlari.
Rasa sakit adalah cara terbaik untuk menyadarkan dirinya.
Cindy sangatlah panik, karena dia tau konsekuensi yang harus dihadapinya jika dia tertangkap.
"Nona Gunawan, jangan lari. Ikutlah bersamaku. Pernikahannya sudah mau mulai."
Cindy berlari lebih cepat. Dia sangat panik sampai dia merasa mau nangis.
Sekeliling yang gelap gulita, orang di belakang yang sudah hampir mengejarnya. Rasa sakit tidak dapat menahan efek obatnya lagi.
Cindy sangat putus asa karena dia tidak tau harus berlari ke arah mana. Tapi Cindy tiba-tiba melihat cahaya terang di beberapa ratus meter kedepannya.
Hati seketika bahagia, Cindy berusaha sekuat tenaganya berlari ke arah cahaya itu.
Di sisi jalan, ada sebuah mobil hitam yang sedang berhenti. Seorang pria dengan setelan kasual sedang berdiri di depan pintu mobil dan menjawab telponannya.
Tepat ketika pria itu hendak masuk ke dalam mobil dan bersiap-siap untuk pergi, Cindy berlari ke arahnya dengan tangisan dan nafas yang terengah-engah: "Tolong aku, tolonglah aku."
Pria itu terdiam seketika, kemudian menyipitkan matanya dan melihat Cindy dengan sekilas.
Pada saat ini, orang yang berada di ujung telpon itu dengan mendesak berkata: "Pengantin sudah mau sampai. Kamu pengantin pria kenapa dari tadi belum sampai juga. Benar-benar, kamu sedikit pun tidak terburu-buru, malah orang lain yang terburu-buru."
"Berisik!" Pria itu menutup telepon dengan eksperesi yang datar.
Dan saat ini supir Keluarga Lingga sudah hampir sampai ke arah mereka. Cindy langsung membuka pintu dan masuk ke dalam mobil tanpa persetujuan pria itu terlebih dahulu. Cindy dengan tangan memohonnya dan wajah yang penuh dengan tangisan memohon: "Tolonglah aku!"
Baru saja Cindy selesai memohon, supir Keluarga Lingga sudah sampai: "Nona Gunawan, cepalah ikut aku pergi. Sudah tidak sempat lagi....."
Supir seketika terkejut setelah melihat pria itu.
Sebelum dia bisa selesai bicara, pria itu dengan tatapan tajam berkata, "Pergilah!"