Wanita berambut cokelat sepunggung yang memakai gaun biru seatas lutut itu meletakkan gelas wiskinya ke atas meja konter bar dengan agak kasar. Perbuatannya itu berhasil membuat Elanor, sahabatnya yang duduk di sebelah kirinya, tersentak kaget dan langsung menatapnya dengan kening berkerut.
Haley menghela napas panjang, kemudian menatap pramusaji yang berdiri di belakang konter bar, mengisyaratkan pada pramusaji itu untuk menuangkan wiski lagi ke gelasnya.
"Biar aku tebak, kau pasti belum mendapatkan pekerjaan, makanya terlihat sangat muram begini. Benar, kan?" tebak Elanor, yang pada akhirnya membuat Haley hanya bisa menghela napas lagi, meratapi nasibnya sendiri.
"Hei, Haley, bukankah kemarin kau bilang padaku kalau hari ini kau ada jadwal interview?" tanya Elanor. Wanita berambut pendek itu menepuk-nepuk bahu Haley, sebagai upaya untuk sedikit memberi hiburan.
"Ya, memang. Seminggu yang lalu aku dihubungi oleh pihak Lawrence Company, dan siang tadi aku mengikuti interview di sana," ujar Haley.
Elanor manggut-manggut, "Well, that's great! Lawrence Company adalah perusahaan teknologi yang sangat besar dan cukup ternama di negeri ini. Ketika pihak mereka menghubungimu untuk mengikuti proses interview, itu artinya kau memang dianggap memiliki potensi besar. Lalu, setelah tadi siang mengikuti interview di sana, mengapa sekarang kau malah terlihat tertekan seperti ini? Apa mereka langsung menolakmu?”
“Tidak, sih. Jika aku diterima, pihak HRD Lawrence Company akan menghubungiku dan memberi kabar. Tapi jika tidak, ya begitulah...” desis Haley.
“Ya sudah, bersabarlah menunggu kabar dari pihak mereka. Aku yakin, kali ini kau pasti akan berhasil dan bisa mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan,” kata Elanor untuk menyemangati.
Haley menatap Elanor dan tersenyum tipis pada karibnya itu. Elanor adalah putri bungsu dari seorang pemilik hotel bintang lima di New York yang punya cabang di berbagai negara bagian di sekitaran New York. Tidak mengandalkan nama orang tuanya ataupun memanfaatkan harta yang dimiliki keluarganya, Elanor tetap bekerja keras hingga sekarang dia telah berhasil menjadi jurnalis di salah satu stasiun televisi Amerika.
Elanor kerap kali pergi ke luar kota, mendatangi berbagai negara bagian di seluruh Amerika Serikat, bahkan hingga pergi ke luar negeri untuk menjalani tugasnya sebagai seorang jurnalis.
Kalau disuruh untuk jujur, sebenarnya Haley merasa agak iri pada karibnya itu. Mereka sudah berteman dekat sejak masih sekolah, dan saat kuliah pun mereka semakin dekat karena berada di universitas yang sama meski berbeda jurusan, Elanor jurusan Jurnalistik, sedangkan Haley jurusan Bisnis dan Manajemen.
Mereka berdua sama-sama berumur 25 tahun, tapi nasibnya dan nasib Elanor sungguh berbanding terbalik. Pada usia yang memang sudah seharusnya mulai merintis kesuksesan, Haley malah berada di atas batu yang sama dan tidak pernah berpindah posisi sedikitpun sejak tiga tahun yang lalu setelah lulus dari kuliah.
Hingga detik ini, Haley belum memiliki pekerjaan tetap meski pada masa kuliah ia sempat magang di beberapa perusahaan ternama. Hidupnya masih bergantung pada kedua orang tua, bahkan biaya makan dan untuk membayar biaya sewa apartemen pun ia masih mengharap pemberian dari orang tuanya.
Namun, untungnya saja kedua orang tuanya tidak pernah mengeluh ataupun protes, tapi justru selalu merangkul dan mendukung Haley untuk berjuang lebih keras lagi agar segera mendapat pekerjaan yang dia inginkan di kota metropolitan yang cukup keras seperti New York.
Sedangkan Elanor, dia sudah memiliki pekerjaan tetap dengan gaji yang lumayan, ditambah lagi sudah bertunangan dengan seorang pengusaha muda yang tentunya dapat menjanjikan masa depan pernikahan yang cemerlang untuk Elanor.
Akan tetapi, Haley tidak dibutakan oleh rasa cemburu atas kesuksesan Elanor, justru ia merasa sangat kagum dan begitu bangga karena memiliki sahabat sehebat Elanor. Keiriannya pada Elanor sekadar ia jadikan sebagai motivasi untuk terus berjuang mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang dan minatnya.
Jujur saja, mengadu nasib sebagai pengangguran di New York adalah hal yang sangat berat. Ayah dan ibunya adalah bankir investasi di perusahaan yang cukup ternama di Amerika Serikat, dan hal itu jelas dapat mendeskripsikan bahwa tidak sulit bagi mereka untuk memberikan segalanya pada Haley, putri semata wayang mereka.
Akan tetapi, Haley sadar diri bahwa dirinya sudah berusia 25 tahun dan tidak mau terus-menerus menyusahkan kedua orang tuanya. Mau jadi apa ia jika terus menganggur dan hanya bergantung pada kekayaan yang dimiliki ayah dan ibunya? Ia tidak mau hanya duduk diam dan berharap akan ada seorang pria kaya raya yang mendatanginya dan menikahinya.
“Omong-omong, di Lawrence Company, kau melamar di posisi apa?” tanya Elanor.
“Well, di sana sedang membuka lowongan pekerjaan untuk menjadi kandidat sekretaris CEO dan sekretaris Wakil Direktur. Kalau Tuhan mau memberikan keajaiban, aku harap aku diterima menjadi sekretaris CEO Lawrence Company. Kabulkan doaku, Tuhan!” tutur Haley sambil menatap ke atas dengan wajah memelas, berharap Tuhan mau mengasihaninya.
“Hebat! Aku yakin, kau pasti akan diterima, Haley. Aku percaya padamu,” kata Elanor.
Haley tersenyum padanya, “Terima kasih. Semoga saja.”
Hingga dua jam kemudian, mereka asyik minum-minum dan mengobrol banyak hal. Sudah hampir satu bulan mereka tidak bertemu karena kesibukan masing-masing. Haley sibuk mencari pekerjaan, sementara Elanor sibuk dengan pekerjaannya sebagai jurnalis, sehingga mereka hanya berkomunikasi lewat ponsel.
Hingga ketika malam semakin larut dan Haley sudah menghabiskan hampir enam gelas wiski, Haley merasa kalau tubuhnya sudah mulai goyah terhadap keseimbangan kesadaran dan mulai mabuk.
Elanor berniat mengajak Haley untuk segera pulang sebelum Haley membuat kekacauan di dalam bar, sebab Elanor tahu betul kalau Haley akan bertingkah ‘gila’ saat sedang mabuk.
Namun, kandung kemih Haley keburu penuh dan membuatnya butuh pergi ke toilet dulu sebelum pulang.
Jadilah akhirnya, Haley pun turun dari kursinya dan berjalan melewati keramaian yang terjalin di seluruh penjuru bar, mengingat waktu tengah malam hampir tiba.
“Haley! Toiletnya bukan di sana!” Elanor berteriak ketika melihat Haley berjalan ke arah barat, yang mana Haley baru sadar kalau itu adalah arah menuju pintu keluar. Suara Elanor yang berteriak pada Haley seolah berusaha mengalahkan alunan musik di dalam bar yang menggema cukup keras.
Meski sudah sedikit lunglai karena pengaruh alkohol yang sejak tadi ia minum, tapi Haley masih bisa mendengar suara karibnya itu. Maka, ia pun memutar langkahnya dan berjalan ke arah timur seperti yang diberitahu Elanor.
Langkahnya terhenti ketika ia melewati sebuah meja yang terletak di sudut bar. Karena pandangannya sudah sedikit mengabur, ia memicingkan kedua matanya saat melihat ada sesuatu yang sangat menarik di sana.
Haley sendiri harus mengakui bahwa kalau sedang mabuk, ia kerap kali kehilangan akal. Ia akan melakukan apapun, bertingkah sesuka hati, dan tidak tahu malu. Memang tidak salah jika Elanor kerap menyebut Haley ‘gila’ jika sedang mabuk.
Jadi, ketika ia merasa tertarik pada seorang pria tampan berdasi merah dan berperawakan maskulin yang sedang duduk sendirian di meja tersebut, Haley yang sudah mulai mabuk pun merasa tergoda, dan jiwa gatalnya meronta-ronta. Kandung kemihnya mendadak kosong, seolah ada penyedot air yang sudah mengosongkannya sehingga ia tidak lagi ingin kencing.
Akhirnya, dalam kondisi setengah mabuk, Haley mendatangi meja itu dan menghampiri pria berdasi merah yang sedang menenggak vodka di sana.
“Hei,” panggil Haley.
Pria itu menenggak vodkanya dengan gelas shot, lalu menatap Haley dengan kedua alis terangkat.
“You want another shot?” Haley bertanya padanya, mencoba untuk menggodanya.
Pria itu terdiam. Kedua mata birunya yang tajam bak elang itu menatap Haley dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sesaat kemudian, sembari memandangi gelas shot yang masih dia pegang, dia membalas ucapan Haley, “What kind of shot?”
“Love shot!” seru Haley sambil memberikan tanda hati dengan kedua tangannya.
Pria itu bergeming, menatap Haley dengan tatapan tajam dan dingin. Sementara itu, Haley yang memang sudah menggila, tertawa terbahak-bahak dan tidak malu sama sekali di hadapan pria tampan tersebut.
“That was nice,” kata pria itu dengan wajah tanpa ekspresi, “Siapa namamu?”
Dengan girang, Haley menjulurkan tangan kanannya, mengajak pria itu untuk berjabat, “Haley.”
Pria berparas dingin itu menatap uluran tangan Haley. Dia tidak menyambut tangan gadis itu untuk berjabat, tapi justru hanya menatapnya saja.
“Koreksi jika aku salah, Nona Haley,” kata pria tersebut.
Haley terdiam menatap pria itu dengan kedua matanya yang mengerjap beberapa kali.
“Kau Haley Gwendelyn Walter, salah satu kandidat yang melamar menjadi sekretaris CEO di Lawrence Company. Benar, bukan?”
“Y-ya, benar,” jawab Haley dengan terbata, “Bagaimana kau bisa tahu?”
Pria itu mengeluarkan secarik kartu nama berwarna hitam dari saku jasnya, kemudian memberikannya pada Haley.
Haley pun menerima kartu nama tersebut dan mulai membacanya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat di sana tertulis JUSTIN CHRISTOPHER LAWRENCE sebagai FOUNDER & CEO.
"Aku Justin Lawrence, CEO dari Lawrence Company," kata pria itu.
Haley hanya diam karena masih terkejut.
“Well, karena kebetulan aku bertemu denganmu di sini, lebih baik aku saja yang langsung memberitahumu agar pihak HRD tidak perlu menghubungimu lagi.”
Haley terdiam menatap pria bernama Justin itu sambil mengatup bibirnya rapat-rapat.
“Mulai hari Senin, kau sudah harus datang ke kantor dan bekerja untukku.”
***
Bersambung.....