“Permainanmu sangat hebat‚ Sayang. Gerakkan lebih cepat!”
Bagai disambar petir‚ aku menatap nanar pasangan yang sedang melakukan aktivitas panas di tempat tidur utama.
Pria itu tunanganku‚ Justin Xenakis. Sedangkan wanita yang berada dalam tindihannya adalah sahabatku‚ Anne.
Untuk sesaat aku tak tahu harus bertindak apa. Aku diam-diam datang ke rumah baru pernikahan ini untuk mengambil kerudung pernikahan yang tertinggal‚ karena besoknya aku dan Justin akan melangsungkan pernikahan. Tapi nyatanya aku malah dihadiahi pengkhianatan mereka.
Masih tak bergerak‚ di saat itulah Anne melihatku berdiri terpaku di celah pintu‚ matanya berkilat sirat provokasi‚ dan erangannya menjadi semakin tidak bermoral.
“Sayang‚ tidakkah kau merasa bersalah melakukan ini denganku saat kau akan menikah dengan Rachel besok?”
“Apa yang harus disalahkan? Apa ada perbedaan antara melakukannya pada malam pernikahanku atau hari biasa? Lagi pula‚ dia tidak akan pernah tahu hubungan kita.”
Sambil terkekeh‚ dengan acuh tak acuh Justin terus menggerakkan pinggulnya menghunus Anne. “Jika bukan karena paksaannya‚ aku mana mau menikahinya‚” sembur Justin tanpa menahan diri sedikit pun.
Hatiku terjepit mendengar perkataan pria yang dulunya sangat kucinta. Kami telah bersama selama tujuh tahun. Awalnya‚ aku berpikir bahwa kami akan hidup bahagia selamanya mulai besok‚ tidak akan terpisah sampai mati. Tapi semua harapanku hancur setelah menyaksikan semuanya malam itu. Dia bukan lagi Justin Xenakis yang mengaku mencintaiku dan rela menghabiskan hari selamanya.
“Kalian berdua‚ pergi dari rumahku sekarang juga!” teriakku‚ menghentikan aktivitas Justin.
Justin menarik tubuhnya mundur dan tanpa rasa malu sedikit pun‚ ia menatapku dengan tubuh polosnya. “Pergi? Kau mengusir kami maksudmu? Rachel‚ apa kau lupa‚ kaulah yang memberikan rumah ini? Ini sudah atas namaku. Harusnya kau‚ seorang pengganggu yang harus pergi dari rumah kami!”
Mataku membelalak terkejut. Selama ini‚ aku yang bekerja keras selama bertahun-tahun‚ dan uang tabunganku habis hanya dengan membeli rumah ini dengan tujuan nantinya akan kami tempati bersama. Bodohnya aku adalah terlalu mempercayai pria berengsek seperti Justin!
Justin tampak tertawa. Aku benar-benar muak melihatnya.
“Kalau begitu. Pernikahan kita. Dibatalkan‚” ujarku tegas tetapi mencoba setengah mati untuk tidak tercekat.
Kutatap Justin yang hanya mengedikkan bahu‚ tanda betapa acuhnya kata sakral yang aku ucapkan. “Terserah. Mau itu dibatalkan atau apa‚ aku tidak peduli. Lebih baik‚ kau pergi dari sini sekarang‚ kau menganggu kesenanganku bersama Anne!”
Perih hatiku bergejolak‚ aku melangkah dan memberinya tamparan sekeras mungkin di wajahnya. Lalu‚ aku alihkan pandanganku pada wanita yang duduk di ujung tempat tidur. Aku berjalan dengan tatapan membunuh‚ siap memberinya pelajaran.
Namun‚ dia malah memberikanku tatapan menantang. “Reese …” katanya.
Aku berhenti‚ diikuti telapak tanganku yang menggantung di udara sebelum mencapai pipi wanita itu.
Apa maksud dia mengucapkan nama bocah itu?
Sebelum aku bereaksi‚ dia melanjutkan‚ “Apa kau tidak lihat anak itu sangat mirip dengan Justin?”
Aku menurunkan tanganku dengan lemas. Bagaimana mungkin? Ayah Reese adalah anak dari Justin. Reese lahir dari rahim Anne‚ tapi selama ini Anne tak pernah mau mengungkapkan siapa ayahnya. Aku selama ini menghormatinya dan tidak bertanya‚ karena takut itu membuat ia terluka. Tapi… apa ini?
Jadi‚ mereka sudah lama berselingkuh?
Tubuhku bergetar hebat‚ tapi aku menggigit bibirku sambil mengepalkan kedua tangan dengan erat. Pengkhianat seperti mereka tidak pantas untuk diberi panggung! Aku memilih pergi dari sana‚ menahan dadaku yang bergemuruh.
Aku menghentikan taksi‚ dan setelah masuk aku menyebutkan nama bar untuk dituju. Sementara mobil melaju‚ derai air mata akhirnya membasahi pipiku. Sesuatu yang telah lama kutahan. Supir taksi tidak memedulikanku. Baguslah.
20 menit kemudian‚ aku tiba di bar. Bau asap rokok dan alkohol menyatu memenuhi udara. Musik menyentak diputar dengan maksimal seolah berusaha memecahkan gendang telinga pengunjung. Laki-laki bergoyang mengikuti irama di lantai dansa sementara aku duduk di sudut sambil menenggak gelas demi gelas minuman keras terkuat.
Selama tujuh tahun terakhir‚ aku tidak pernah sekalipun curiga bahwa mereka tengah menjalin hubungan‚ karena mereka adalah orang yang paling aku percayai. Tapi sekarang‚ justru kedua orang itu yang mengkhianatiku di saat yang bersamaan. Apakah ada orang lain yang lebih menyedihkan dariku di dunia ini?
Karena emosiku yang kacau balau‚ aku mengangkat kepala ke belakang‚ menenggak minuman keras. Sensasi terbakar di tenggorokanku membuat air mata mengalir di wajahku‚ tetapi dadaku tetap sesak tanpa sedikit pun jeda.
Tiba-tiba‚ tatapanku jatuh pada seorang pria yang mengenakan setelan hitam‚ tengah minum sendirian di pojok bar dengan ekspresi muram di wajahnya.
Aku mengenalinya—dia adalah atasannya Justin‚ Hendery Shaw.
Walau aku bertanya-tanya mengapa pria penguasa bisa ada di bar ini‚ tapi sebuah pikiran picik tiba-tiba melintas di benakku.
Bagaimana jika aku menggunakan pria itu agar bisa menghancurkan Justin? Aku ingat bahwa Justin sangat membenci atasannya ini‚ bahkan Justi mengaku selalu dibuat kesulitan oleh pria itu.
Aku tersenyum. Sambil mengambil gelas anggurku‚ aku terhuyung-huyung berjalan dalam dunia yang rasanya terbalik. Ketika aku akan mencapai Hendery‚ aku tersandung dan terperangkap ke dalam pelukannya.
Hendery menatapku dengan dingin dengan kebencian terukir di wajahnya sebelum dia mendorongku pergi.
“One night stand with me‚” gumamku dengan tenang sambil menatap wajahnya yang tampan‚ tatapanku berkaca-kaca.
“Apa?” tanyanya dengan dingin.
“Aku bilang‚ habiskan malam bersamaku. Apa kau tidak punya nyali? Atau ‘milikmu’ itu mengalami malfungsi?”
Tidak ada pria di dunia ini yang dapat menerima hinaan orang lain dengan berpikir bahwa ‘kebanggaannya’ ditelakkan‚ terutama wanita. Dan aku pikir dia juga tidak terkecuali.
Namun‚ melihat reaksinya jauh berbeda dengan bayanganku. Ia hanya menatapku datar.
Dalam 2 menit yang penuh keheningan‚ kami hanya saling bertatapan. Aku merasa canggung. Diam-diam aku juga merutuki diriku yang begitu bodoh. Bisa-bisanya aku berpikir menggunakan Hendery‚ bos mantan kekasihnya‚ hanya untuk membuat Justin menyesal!
Gila. Aku menggeleng‚ menyadarkan kepalaku yang pening akibat alkohol. Tak ingin mencari keributan‚ aku memilih berbalik dan pergi‚ tapi seulur tangan menghentikanku diikuti tarikan kuat.
Aku bergidik saat Hendery berbisik tepat dibelakang telingaku. “Aku harap kau tidak menyesalinya‚ Nona! Karena aku tidak akan berhenti!”
DEG!
“A-aku…”
Belum sempat aku mencerna semuanya‚ Hendery menggendongku. Aku yang sudah lemas dan pusing hanya pasrah dalam dekapannya. Saking nyamannya‚ aku menutup mataku dan merapatkan kepalaku pada dadanya.
Aku yakin‚ Hendery hanya membawaku pulang. Ia pasti merasa kasihan denganku.
Tapi dugaanku salah. Saat aku membuka mata‚ Hendery ternyata membawaku ke kamar mewah yang ternyata berada di bar ini.
Hendery menurunkanku dengan pelan. Belum sempat aku bereaksi‚ dia mulai membalikkanku dan langsung menghujaniku dengan ciuman. Awalnya dengan pagutan lembut‚ tapi lama-kelamaan menjadi menuntut. Hendery seperti mencecap seisi mulutku dan itu membuatku tak sengaja mengeluarkan lenguhan.
Awalnya aku tak terbiasa‚ karena aku dan Justin tak pernah melakukan hal yang lebih. Tapi lama-kelamaan alkohol semakin mengambil alih diriku. Aku membalas Hendery dengan tak kalah liar. Rasa sakit hatiku berangsur-angsur hilang‚ digantikan dengan gelora panas.
Hingga aku tidak sadar bahwa kini aku berada di atas tempat tidur‚ dengan Hendery yang berada di atasku.
Ditatap dengan mata obsidiannya yang menenggelamkan‚ dia berbisik di telingaku. “Jangan minta aku untuk berhenti setelah ini.”