hotbuku

Let’s Read The World

Open APP
Gairah Sang Dokter Duda

Gairah Sang Dokter Duda

Author:Selfie Hurtness

Roman Dewasa | Updating

Introduction
Luka yang ditorehkan wanita yang begitu ia cintai dulu masih membekas hingga sekarang di hati dokter bedah senior setengah abad itu. Ia sudah melupakan semua tentang cinta, nikmatnya bercinta dan apapun itu yang berhubungan dengan cinta dan wanita, hingga kemudian kedatangan mahasiswa koas baru periode ini begitu memporak-porandakan Adnan dengan luar biasa. Gadis cantik dan manis itu terlampau jauh sebenarnya untuk dia jangkau, namun cinta membawanya datang sendiri pada Adnan. Kejadian malam itu membuktikan bahwa sebenarnya cinta itu masih ada, bahwa akhirnya ia kembali bisa jatuh cinta. Cover by @reistyaa
Show All▼
Chapter

"Dokter, semua sudah siap!" lapor perawat OK itu ketika Adnan masuk ke dalam salah satu ruangan di OK itu.

"Baik," hanya itu yang Adnan ucapkan, ia segera masuk sambil memakai surgical mask-nya.

Adnan menatap obyek bedahnya hari ini, seorang gadis yang sudah terbaring di atas meja operasi. Beberapa petugas medis yang lain sudah bersiap untuk ikut turun bersamanya dalam operasi kali ini. Hari ini Adnan ada jadwal laparatomi, ia dan dia sudah berdiri di depan meja operasi. Ia menatap beberapa orang yang sudah siap dengan gown mereka masing-masing.

"Anestesi?"

"Clear!"

"Peralatan?"

"Clear!"

"Koas?"

"Clear!"

"Hari ini koas yang ikut siapa saja?" tanya Adnan sambil menatap beberapa orang yang ikut bersamanya.

"Redita Fernanda, Dok."

"Gilbert Situmorang, Dok."

Adnan hanya mengangguk pelan.

"Residen?"

"Toni Ardiyanto."

"Kendrick Bagaskara."

Adnan tidak berkata-kata lagi, ia hanya mengangguk pelan tanda paham siapa saja mahasiwa baik koas atau residen bedah yang bergabung dengannya hari ini.

"Scalpel, please!" guman Adnan tegas meminta senjatanya di siapkan.

Seorang perawat OK bergegas menyodorkan alat yang Adnan minta, ia bergegas memulai prosedur-prosedur pembedahan. Dengan lincah Adnan membuat sayatan di perut itu. Ia kemudian menatap gadis yang ada di hadapannya itu, salah seorang koas yang sedang menjalani stase bedah bersamanya.

"Pegang ini yang kuat, udah sarapan kan?" guman Adnan pada Redita sambil mempersilahkan gadis itu memegang langebeck yang sudah ia posisikan untuk menahan sayatan yang sudah ia buat itu.

Gadis itu mengangguk patuh. Dengan gugup ia mengikuti instruksi yang diberikan Adnan. Adnan bisa melihat dengan jelas tangan itu bergetar hebat, wajahnya pucat luar biasa dengan keringat dingin mengucur dari dahinya.

"Dek ... ditahan to! Kok kendor sih?" bentak Adnan ketika Redita tidak bisa menahan alat itu seperti apa yang ia instruksikan.

"Ba-baik, Dokter."

Adnan kembali serius dengan pekerjaannya. Namun ia masih belum puas dengan pekerjaan Redita, koas nya itu.

"Dek, kamu bisa nggak sih? Masa kayak gini aja nggak bisa? Gilbert gantiin Redita!" suara Adnan meninggi, ia menatap tajam ke arah gadis itu.

Gilbert menggantikan Redita yang tampak bergetar hebat itu. Adnan menatap sekilas Redita yang makin pucat itu, matanya memerah, membuat Adnan tertegun sejenak. Ada sebuah perasaan yang tiba-tiba menyeruak di relung hati Adnan yang paling dalam. Perasaan yang sudah sangat lama sekali tidak pernah muncul dalam diri Adnan. Kenapa ia menjadi iba pada sosok yang begitu pucat dan matanya memerah itu.

Adnan menghela nafas panjang, ia kemudian kembali fokus pada pekerjaannya, ia melupakan sejenak perasaan aneh yang tiba-tiba muncul itu. Ada apa dengan dirinya?

***

"Dek, lanjutkan! Jahit yang rapi," guman Adnan lalu melepas handscoon-nya dan melangkah keluar.

Ia melirik sekilas Redita yang menundukkan pandangannya itu. Namun Adnan terus melangkah meninggalkan para koas dan residennya melanjutkan pekerjaannya.

Ia bergegas melepas gown-nya dan mencuci bersih-bersih kedua tangannya. Pikirannya malah terpusat pada sosok Redita, koas periode ini yang menjalani stase bedah di bawah pengawasannya.

Kenapa ia jadi memikirkan gadis itu sih? Dia bahkan lebih muda dari anak sulungnya! Ada apa ini? Adnan bergegas menyambar snelinya dan melangkah keluar dari OK. Pikirannya melayang memikirkan sosok itu. Ada sebuah perasaan timbul dan menyeruak dalam hati Adnan, dia kenapa sih? Kenapa jadi seperti ini?

Adnan melangkah menuju ruangannya, hendak mengambil tas dan barang bawaannya. Ia masuk dan duduk di kursinya, memijit keningnya dengan gemas. Sejak awal memang ia sudah begitu terganggu dengan sosok Redita itu. Bukan karena anaknya menyebalkan atau banyak tingkah, melainkan karena hadirnya sosok itu membuat perasaan aneh yang sudah lama mati dalam diri Adnan kembali hidup.

Sebuah gairah yang sudah Adnan kesampingkan selama hampir lima tahun ini. Gairah yang sukses membuat Adnan selalu sakit kepala dan berakhir dengan ia menuntaskan semua gairha itu sendirian.

Dia tidak pernah lagi tertarik dengan siapapun sejak perceraiannya dengan sang mantan isteri. Rasa sakit yang mendalam itu benar-benar sudah membuat Adnan mati rasa, membuat ia trauma dengan wanita.

Namun Redita ... kenapa Adnan bisa langsung tertarik pada gadis belia dua puluh satu tahun itu? Ia harusnya tahu umur bukan? Dia mungkin seumuran dengan bapak gadis itu! Dan dia jatuh cinta pada gadis itu? Astaga, nyebut Nan ... nyebut!

Adnan bergegas bangkit dan melangkah keluar dari ruang prakteknya. Sudah jam pulang bukan? Dengan santai ia melangkah menuju parkiran. Ia melirik sekilas lift yang tampak dipenuhi beberapa orang di depannya itu, ahh ... mending lewat tangga saja, lebih sehat bukan?

Adnan membuka pintu tangga dan tersentak menemukan sosok itu tengah duduk di tangga sambil memeluk lututnya. Suara Isak terdengar oleh indera pendengaran Adnan. Dari snelli yang dipeluknya, Adnan tahu dia anak koas. Dan dari badge namanya ... astaga ini Redita? gadis yang sejak tadi menganggu pikirannya itu? Kenapa dia menangis?

Adnan menghela nafas panjang ia kemudian duduk tepat di samping gadis itu, gadis itu masih memeluk lututnya dan terisak.

"Baru satu stase aja udah nangis, bagaimana stase-stase selanjutnya?" guman Adnan lirih.

Sosok itu tersentak, ia mengangkat wajahnya dan buru-buru menyeka air matanya. Adnan dapat melihat dengan jelas air mata itu masih mengambang di pelupuk mata gadis itu.

"Do-dokter Adnan?" Redita tampak sangat terkejut, ia langsung terlihat salah tingkah.

"Iya, kenapa? Kamu nangisnya nggak gara-gara saya tadi kan?" tanya Adnan to the point.

"E-enggak kok, Dok."

"Yakin? Lha trus kenapa nangis di sini?" Adnan tersenyum kecut, ia percaya bahwa ada sesuatu yang terjadi pada sosok itu.

"Sa-saya ... sa-saya ...,"

"Daripada nangis di sini, mending ikut saya!" titah Adnan lalu bergegas bangkit.

"Gi-gimana, Dok?" untuk sekali lagi Redita tampak sangat terkejut.

"Ikut saya, kamu nggak budek kan? Atau perlu saya bawa ke poli THT?" tanya Adnan sambil tersenyum kecut.

"Ng-nggak perlu, Dok. Memangnya mau kemana?" Redita menatap Adnan takut-takut.

"Sudah ikut saja!" Adnan meraih tangan Redita, membawanya menuruni tangga darurat itu.

Redita tersentak luar biasa ketika tangan itu menyentuh dan menggenggam erat tangannya. Membawanya menuruni anak tangga dengan begitu lembut.

Jantungnya berdegup kencang, kenapa tiba-tiba konsulennya itu seperti ini? Dokter Adnan bukan tipe orang kurang ajar dan sok dekat dengan mahasiswanya. Terlebih pada mahasiswi, ia seperti jaga jarak dan menciptakan sekat diantara mereka. Lantas kenapa hari ini sosok dokter bedah senior itu begitu berbeda?

Redita hanya membisu, Dokter Adnan terus membawanya menuruni anak tangga, hingga kemudian dengan perlahan ia melepaskan genggamannya.

"Ikut saya, tengang saya tidak ada niat jahat, percayalah."

Redita menatap mata itu, mata itu begitu tajam namun begitu lembut dan hangat di mata Redita. Sorotnya seolah memberi rasa nyaman di hati Redita, ada apa dengan dirinya? Nggak mungkin kan dia jatuh cinta pada sosok konsulennya itu?

Redita mengikuti langkah konsulennya itu, ia tidak berkata-kata apapun. Diam membisu melangkah di belakang sosok Adnan Sanjaya itu. Kemana laki-laki itu hendak membawanya pergi?