Bunyi petir dan hujan yang deras membasahi bumi pertiwi. Seorang gadis muda mendegus dengan wajah pucat dan bersimbah darah. Tubuhnya bergetar hebat serasa menahan perih.
“Hari ini aku mau mati. Aku sudah meniatkan hal itu akan terjadi di malam ini!” sahutnya. Sebuah beling kaca yang tajam siap merobek nadinya.
Dia terdiam sejenak dan menonggakan wajahnya ke atas. Melihat kilatan petir yang menyambar dan mengagetkan siapa pun yang mendengarkannya.
“Aku ingin semua berakhir, tidak peduli seberapa banyak dosa ini!” ucapnya. Sekar mengelus perutnya dan mencoba menutup wajahnya sejenak. Menarik napas dalam-dalam dan akan segera melakukan aksinya. Sudah lama dia berusaha menahan sakit hati ini dan sudah lama juga dia berniat mengakhiri saja hidupnya. Teriakan dan cacian seperti belati yang merobek hatinya siang dan malam.
Sekar tidak ada pilihan saat ini. Dia sudah di usir dan diamuk warga sore tadi. Bekas sayatan dan luka lebam masih menempel di dahinya. Orang mengusirnya karena menganggap sekar adalah aib yang harus dibinasakan segera.
“Sekar!”
"Dasar manusia biadab!" ucap suara itu lagi. Sekar menggusap perut buncitnya dan mencoba tersenyum penuh misteri. Dia akan membawah anaknya ke neraka bersama. Orang-orang tidak menerimanya di kampung ini. Ada dendam bersemayan dalam hati Sekar. Tubuhnya bergetar hebat karena dia tidak makan selama seharian penuh dan harus berlari.
“Pelacur!”
Teriakan itu sangat terdengar dari gubuk kecil persembunyiannya. Dia kabur dari amukan warga dan bersembunyi di gubuk yang hampir roboh itu.
“Sekar!”
Samar-samar suara itu memanggilnya. Dia menenangkan pikiran sebelum mengakhiri hidupnya. Orang-orang tidak akan menerima anaknya kelak jika lahir. Sehingga jalan pintas yang dilakukan yaitu mengakhiri hidupnya saja.
Sekar menutup matanya dan linangan air mata membanjiri pipinya. Keputusan untuk mengakhiri hidupnya masih ragu dia lakukan tetapi hidup dalam kondisi menderita juga tidak ingin dihadapinya.
“Tuhan, pantaskah merindu?” ucapnya.
“Mengapa tidak ada yang menolongnya dalam kehidupan ini?” batinnya. Linangan air mata dan suara isak tangisan bersautan di malam yang panjang. Bunyi suara petir dan hujan lebat menambah suasana malam yang genting. Malam yang menjadi saksi bisu akan kehidupan dua anak manusia.
“Mati atau memilih hidup!”
Dengan sedikit bergetar, Sekar mengangkat tanganya ke atas dan mencoba menggoreskan beling kaca itu di urat nadi sambil menutup mata. Dia terdiam sejenak dan mencoba mengusap air matanya yang bercampur dengan keringat.
Darah segar keluar dan membuat sang pemilik berdesah kesakitan. Hidup dan kematian seakan berada di tanganya yang berdosa.
“Aku kesakitan!” desahnya. Sekuat tenaga dia menahan sesak di dada. Darah itu terus mengalir bagaikan percikan air.
Sekar mengambil jalan ini untuk menutupi aib dan kesalahannya di masa lalu. Sekar tidak berpikir panjang tentang nasib anak yang di kandungnya kini. Baginya, dia harus mengakhiru hidupnya sekarang tanpa menunggu waktu.
“Tuhan, aku percaya kamu tidak ada!” teriaknya dengan sisa tenaga. Keringat kini membasahi seluruh tubuhnya. Darah segar masih terus mengalir dari urat nadi.
“Biadab!” teriakan itu mengema lagi dan membuat dirinya semakin ketakutan.
“Kemana dirimu!” teriak suara itu. Sekar mencoba menarik beberapa kain di tubuhnya untuk menutupi mata. Dengan sekuat tenaga, Sekar keluar dari gubuk kecil itu. Darah dari urat nadinya mengalir.
“Apakah aku akan mati?” batinya.
“Aku sudah tidak tahan!” ucapnya.
Hujan deras membasahi tubuh Sekar. Dia dengan tergesah-gesah melewati jalan besar dan berhenti sejenak.
“Aku sudah tidak kuat!” ucapnya. Sekar ambruk dan tidak sadarkan diri lagi.
Brak!
Beberapa warga digegerkan dengan kematian seorang gadis. Mereka mencari perempuan itu siang dan malam. Beberapa warga melihat Sekar sempat di bawah ke sebuah rumah sakit oleh seorang pemuda bertubuh tinggi dan bermobil silver. Kini, Sekar meninggalkan seorang bayi cantik bernama Jihan. Nama bayi yang diberikan pemuda itu.
“Jadi ini istri anda?” tanya salah satu dokter.
“Tidak Pak! Saya hanya menemukan dia,” jawabnya.
“Maaf Tuan, beliau sudah tiada dan sekarang siapa yang akan merawat bayi ini?” tanya dokter itu kemudian.
“Saya yang akan merawatnya sekarang,” sahut Anton dengan mantap.
“Tapi, apakah anda bisa menyembunyikan hal ini dari istri saya?” lelaki paruh baya itu menatap lekat-lekat salah seorang dokter yang membantu Sekar.
“Baik,”
Anton berjalan mendekati tubuh Sekar yang sudah kaku. Dia menghela napas panjang sembari mengendong bayi yang cantik.
“Mengapa meninggalkan anak ini?” ucapnya.
“Apakah ini menjadi aib bagimu?” sambungnya lagi.
“Kalo begitu, aku akan merawat bayi ini dan akan selalu bersamaku, sekarang!” ujar Anton. Dia pulang dengan wajah kaku dan bingung. Istrinya Laras akan memarahinya kali ini. Bagaimana bisa dia pulang dengan mengendong seorang bayi?
“Anak siapa?” Laras berdiri di depan pintu dan mengamati tubuh suaminya.
“Apakah ini anak kamu dan selingkuhan itu?” suara Laras menghakimi dan penuh tekanan. Anton bergeming. Dia terdiam sejenak dan tidak bersuara.
“Apa kurangnya aku?” Laras menitikan air mata. Isak tangisanya semakin lama semakin nyaring dan membuat seisi rumah terdiam.
“Bagaimana bisa kamu menghianati aku?” sambung Laras lagi.
“Maafkan aku. Tetapi….”
“Stop!” potong Laras.
“Akan kamu beri nama siapa bayi haram itu?” ujarnya.
“Jangan pernah menyebutnya bayi haram!” teriak Anton penuh emosional. Matanya menatap sinis wajah Laras yang berada di depannya.
“Terus? Bayi apa?”
“Kamu sudah selingkuh dan menghasilkan seorang anak! Apakah kamu pikir aku tidak sakit!” balas Laras. Suaranya meninggi dan penuh penekanan. Hatinya sesak mengucapkan kata-kata itu. Tubuhnya bergetar hebat dan serasa dia ingin mencabik suaminya saat ini.
“Apakah kamu tidak merasakan sakit hati melihatku menangis? Bayi siapa itu?” ulangnya. Laras histeris dan membuat Anton semakin panik.
“Mengapa harus menduakan aku? Bukankah aku cukup bagimu?” lirih Laras. Dia duduk di sofa dan menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Aku … aku sakit!” ucapnya.
“Istri mana yang tidak murka melihatmu mengendong bayi dari selingkuhan, ah?”
“Katakan, Anton!” bentak Laras. Perempuan paruh baya itu menyeka air matanya dan mendekati Anton yang dari tadi masih berdiri di depan pintu.
“Kamu menusukku dari belakang, menghancurkan rumah tangga kita. Menanam duri di setiap sisi hatiku. Sampai kapan pun, duri itu akan terus tumbuh dan menghancurkan seisi rumah ini,” gumam Laras.
“Perselingkuhan akan mendapatkan balasannya serta anak itu akan mendapatkan hukuman dari rasa sakit ini!” teriak Laras. Dia lalu bergegas masuk ke dalam kamar. Anton bergeming, lidahnya mendadak keluh untuk berucap. Kesalahan satu malam membuat semuanya berantakan.
“Jihan, maafkan ayah!” batinnya.
Bersambung…
Hai, selamat datang di novel terbaruku yah. Jangan lupa ramaikan dengan review menarik kalian. Jangan lupa untuk samperin novel pertamaku berjudul Perfect Marriage juga. Salam santun :"
ig: nurjannah_mangguali