Prolog
Ayana menimang benda pipih yang sedari tadi memang ada di genggaman tangan kanannya.
Terlihat jelas ia masih meragu.
Akankah sesuai ekspektasinya jika ia melakukan hal ini?
Soal resiko ia akan menghadapi apapun yang akan terjadi.
Sudah kepalang tanggung. Menurutnya ini merupakan jalan terakhir sebagai langkah keluar dari masalah yang ternyata ini merupakan awal dari masalah baru tanpa disadarinya.
Ayana mantap menekan screen smartphonenya kemudian membaca ulang nama kontak yang akan dihubunginya.
'Rangga prikitiw'
Tekan tanda panggil. Dan selesai.
Senyumnya mengembanh sempurna persis donat diragiin.
------------------------------------------------
Beberapa kali nada panggilan masuk terdengar nyaring dari ponsel Rangga yang belum lunas cicilannya.
Rangga meraba nakas dan dengan malas mengambil ponsel bermerk somay batagor itu.
Setelah diliriknya siapa yang menelpon, ia pun ogah- ogahan menekan tanda hijau untuk menerima telpon.
"Apaan?" tanya Rangga malas sambil tangan satunya asyik mengupil dengan santai.
" Ngga... Nikah yuk."
Suara cetar membahana diseberang sana terdengar kuat walau ponsel dalam keadaan tidak di loudspeaker.
"Ayo... kapan?" sahut Rangga yang kini duduk dengan wajah dan rambut yang masih kusut.
" Gimana kalo bulan depan aja. Gua udah gajian, tuh."
Suara wanita dari seberang sana terdengar bersemangat.
"Ya udah. Bulan depan tanggal berapa. Uang arisan gue udah keluar belum,ya?" Rangga melirik kalender bergambar fauna didinding kamarnya.
"Serah dah. Biar gue ngomong ke nyokap. Bye."
Telpon terputus.
Rangga masih mengucek matanya berkali- kali.
Dasar bocah, ganggu tidur gua aja lu.
Rangga melanjutkan tidurnya yang tadi terganggu.
Tak lama Rangga terduduk lagi. Wajahnya kaget bukan kepalang.
Ia buru- buru meraih benda pipih itu dan melihat daftar panggilan masuk.
Ia kini sudah seratus persen sadar.
" Dasar, edunnn... Ayana..." Pekik Rangga langsung bangkit dan berlari keluar rumah.
Rangga berlari tergesa- gesa seolah dikejar debt collector. Nafasnya naik turun tak beraturan. Ia berlari sekitar dua ratus meteran dari rumah menuju rumah Ayana.
Gadis dengan rambut sebahu itu memang sudah terlihat menunggunya diteras rumah sambil memetik gitar.
"Akhirnya... lo nongol juga."
Ayana menyambut Rangga yang mukanya acak- acakan kayak atlet lari marathon dua puluh kilo.
Gadis berbodi montok itu mengunyah kerupuk kulit yang memang sudah tergeletak pasrah di meja, baru aja nyomot dari toples emaknya di dapur.
" Apaan lu, Ay. Buat gue hampir stroke aja."
Rangga terduduk dilantai keramik teras rumah Ayana.
Gadis itu hanya menggeleng- geleng kepala beberapa kali melihat sahabat dari kecilnya itu kayak ikan keluar dari kolam, hampir kehabisan nafas.
" Sumpah! Prank lu ga lucu, Ay. Buat kaget aja. Gue kira pevita pearce tadi yang nelpon. kebiasaan lu."
Rangga ngedumel panjang.
"Gue serius. Malah gue udah ngomong sama nyokap, bokap sama emak lu." Ayana santai menjawab sambil meletakkan gitar yang sedari tadi dipangkunya.
" Becanda lu, kan?" Rangga mencoba memastikan lagi kalau Ayana seperti biasa. Hobi boong selain hobinya ngupil.
" Itu... Emak lu lagi milih- milih kartu undangan. Girang banget anak bujangnya laku," tunjuk Ayana kedalam rumahnya sambil terkekeh.
"Ay... lu jangan ngerusak masa depan gua yang cerah bersinar--" Rangga merengek memegang kaki Ayana.
Tingkah Rangga persis bocah minta beliin yoyo di acara nikahan.
"Auk ah... gelap. Yuk masuk. lu pilih juga mana bakal baju yang kita pake."
Ayana menyeret Rangga masuk untuk bergabung dengan para orang tua.
Rangga mencak- mencak gak terima dengan rencana Ayana yang gak pernah menguntungkan siapapun kecuali dirinya sendiri.
Rangga melangkah lemah ke dalam rumah Ayana.
Mau gak mau dia mesti pura- pura nurut biar tau apa yang bakal di buat Ayana.
Benar saja, didalam sudah ada kedua orang tuanya dan juga orang tua Ayana.
" Rangga... Emak seneng banget ternyata jodohnya Ayana itu lu," sambut Warni, emaknya Ayana histeris.
Warni menghampiri Rangga dan menariknya untuk turut duduk bergabung di sofa ruang tamu.
Kedua orang tua Rangga sama girangnya dan sedari tadi cuma cengar cengir sampe giginya kering.
Rangga malah keliatan kayak bocah abis sunatan. Posisinya diapit empat orang tua dengan kesibukan masing- masing.
Ditengah- tengah mereka, diatas meja sudah berjejer rapi beberapa buah katalog yang diyakini Rangga sebagai katalog kartu undangan resepsi pernikahan. Masa iya sunatan, kan gak mungkin juga.
Rangga melirik Ayana yang terkekeh dipojokan ruang tamu sambil melipat kedua tangannya didada.
Ayana membalas dengan mengedikkan bahunya.
"Dasar ular betina. Kerjaan lu ngadi- ngadi, Yan." Rangga komat kamit dengan mimik penuh kebencian.
Ayana acuh, ia cuma cekikikan kemudian melambai membiarkan Rangga kelimpungan sendiri.
Rangga hanya bisa menelan ludahnya berkali- kali.
Sungguh kejam wanita berbody semlehoy itu padanya.
Ini namanya mematikan popularitasnya sebagai high quality jomlo kalau sampai seantero kampung tau Rangga bakal menikah dengan Ayana. Sungguh mimpi buruk!
Ayana yang kelakuannya cekakaran, jauh dari idaman lelaki, apalagi lelakinya se-melankolis Rangga yang kalau nginjek ta* ayam aja kagak penyet.
Sungguh Rangga takut membayangkan hari- harinya bakal sesuram apa kalau ini benar- benar jadi kenyataan.
"Gua mimpi ini. Mimpi buruk, karna tadi ngelewatin pohon gede. Makanya emak ngelarang anak perjaka lewat pohom gede disana. Ya gini. Jadi mimpi horor bakalan nikah sama Ayana the wonder woman gitu." Rangga berbicara sendiri. Menyemangati diri yang sudah tau akan berakhir bagaimana.