“Kenapa? Lagi berantem sama April?”
Seorang wanita berwajah mungil bertanya sambil mengetik di atas mini keyboard wireless yang terhubung dengan smartphone-nya. Fokusnya tak teralih sedikit pun dari deretan kalimat yang muncul di layar.
“Enggak.”
Pria di belakang meja mengetuk-ngetuk lengan kursinya dengan jari tengah. Matanya menyorot tenang ke arah wanita yang sibuk mengetik di seberang meja.
“Enggak apa? Enggak berantem atau enggak akur? Jawabnya yang spesifik, dong.”
“Enggak berantem.”
“Bohong!”
Si wanita masih belum mengalihkan sorot matanya dari layar smartphone. Kepalanya sedikit menyentak, menyingkirkan sebagian poni yang mengganggu pandangan.
“Tell me what’s your problem! Dari tadi pagi muka kamu kelihatan kusut. Enggak enak banget dilihat.”
Meskipun mendesak, nada bicara si wanita tetap lembut dan tenang. Tidak merengek, apalagi marah-marah.
“Kamu nyamperin ke ruanganku buat apa, sih?”
“Buat dengarin curhatan kamu, lah.”
“Gimana aku bisa curhat kalau kamu sendiri masih kerja?”
“Emang apa salahnya mendengar cerita orang sambil kerja? Enggak pamali juga, ‘kan?”
“Mending balik aja, gih, ke ruangan kamu. Aku enggak butuh wadah curhat.”
Pengusiran itu membuat delapan jari lentik di atas keyboard berhenti bergerak. Iris abu-abu terang itu berpindah ke arah pria di seberangnya. Menelisik segenap ekspresi yang tercetak di wajah sahabat sekaligus bos besarnya.
Bagi orang lain, tidak ada perubahan signifikan yang diperlihatkan wajah dan perilaku si pria. Tidak ada kerutan di kening ataupun gelagat penuh kegelisahan. Ekspresinya flat seperti biasa. Bahkan pekerjaan hari ini diselesaikan tanpa kendala.
Namun, bagi orang yang sudah mengenal Aydan Prabu Wijaya selama enam tahun, perubahan kecil yang tersirat dari mata hijau terangnya sudah cukup memberi tahu seperti apa situasi hatinya. Sekalipun berupaya tampil profesional, sekelumit permasalahan yang memenuhi kepalanya tetap diketahui Jelita Agung Permadi.
“Ada masalah besar, ‘kan?” tebaknya.
Aydan mengembuskan napas dan merapatkan belakang kepala ke bantalan kursi. “Simpan dulu HP kamu, baru aku cerita.”
Jelita menonaktifkan tombol off pada keyboard wireless-nya tanpa pikir panjang. Menyingkirkan benda itu ke kursi kosong di sampingnya. Disusul oleh stand holder dan smartphone yang sudah disetel mode senyap.
Jelita berdiri, menghampiri Aydan sambil menyeret kursi. Kemudian duduk dengan jarak setengah meter dari sang sahabat.
“Let’s talk!” pintanya setelah duduk menghadap Aydan.
Perpindahan posisi Jelita tidak membuat Aydan serta merta menceritakan masalahnya. Pria itu memilih hening beberapa jenak sebelum menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannnya perlahan.
“April ... hamil.”
Apakah di luar sedang ada badai? Kenapa Jelita mendengar suara petir yang menyambar kaca? Suara retakan itu memenuhi indera pendengarannya seiring dengan rasa sakit yang menyebar ke seluruh rongga dada.
Okay, Jelita sadar bahwa tidak ada badai. Kaca yang menjadi background posisinya dengan Aydan sudah menjadi bukti bahwa cuaca di luar sangatlah cerah. Mungkin suara petir dan pecahan kaca tadi adalah hasil imajinasinya sendiri—imajinasi yang tercipta karena asa yang sirna, hati yang remuk, dan impian yang hancur.
“Anak ... kamu?” tanyanya sambil merapalkan doa dalam hati agar Aydan mengatakan ‘bukan’. Sayangnya, kebungkaman pria itu justru disimpulkan sebagai jawaban sebaliknya.
“Kapan? Waktu liburan ke Maldives?”
Pria itu mengangguk. “Aku udah prepare ‘pengaman’ waktu itu, tapi April ....”
Jelita memejamkan mata dan menelan ludah. Anehnya, air liur yang biasa terasa ringan dan licin saat ditelan, kali ini malah terasa kesat dan meninggalkan rasa sakit di kerongkongan.
Sebegitu besarkah dampak kabar besar yang dibawa Aydan? Jawabannya, benar sekali.
Kabar itu tidak hanya menghancurkan hati Jelita yang sejak lama memendam rasa, tapi juga membahayakan reputasi platform yang mereka kelola. Bahkan mungkin membahayakan nyawa seseorang yang paling penting di hidup Aydan.
“Kalau Tante Nana tau ....”
Aydan menggeleng keras. “Mama enggak boleh tau.”
“Terus gimana? Kamu enggak berniat lari dari tanggung jawab, ‘kan?”
“Aku bakal tanggung jawab, Ta. Itu anakku. April pacarku. Enggak mungkin aku tinggalin mereka begitu aja. Aku enggak seberengsek itu.”
‘Anakku’ dan ‘pacarku’. Oh, tidak! Dua kata itu seperti panah yang menembus ulu hati Jelita. Rasanya sakit, tapi tidak berdarah.
Beginilah nasib korban one sided love. Apalagi melibatkan bestfriend. Demi menjaga keutuhan persahabatan, Jelita harus siap terluka kapan dan di mana saja tanpa boleh mengekspresikan rasa sakitnya sedikit pun.
Okay, jangan meratapi nasib lagi. Sekarang saatnya back to main topic. “Terus kamu mau ngomong apa ke Tante Nana? Kamu enggak lupa, ‘kan, kalau dia menentang keras hubungan kamu sama April?”
“Itu dia yang lagi aku pikirkan. Gimana caranya supaya aku bisa tetap bersama April sampai dia melahirkan, tanpa sepengetahuan Mama.”
Hubungan Aydan dan April memang baru berjalan delapan bulan. Setahun jika dihitung dengan pendekatan. Namun, Aydan menjalaninya dengan sangat serius. Bahkan sudah pernah mengenalkan April ke orang tuanya. Sayang, orang tuanya tidak menyambut April dengan baik. Terutama mamanya.
Tentu ada alasan di balik penolakan itu. Klasik. Tentang kasta yang tidak seimbang dan nama baik yang sudah tercoreng.
Aprilia Susanti memang berasal dari keluarga menengah ke atas. Sayangnya, kasta itu belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan tingginya derajat keluarga Wijaya. Selain itu, nama Aprilia dicederai oleh kasus pengedaran obat terlarang yang menjerat papanya.
“Itu mustahil, Aydan.” Jelita menggeleng. “Kecuali kalau kalian ... menikah siri.”
Giliran Aydan yang menggeleng. “April enggak mau, Ta.”
Kening Jelita berkerut. “Kenapa?”
“Dia maunya dinikahi secara resmi.”
“Astaga ....” Jelita menjatuhkan kepala ke belakang selama beberapa saat. “Terus dia maunya gimana?”
Aydan mengedikkan bahu, lalu memijat dahi sambil memejamkan mata. “Dia enggak mau kunikahi selama Mama enggak kasih restu.”
Jelita mengusap wajah, lalu mencubit-cubit bibir bawahnya. Wanita itu kelihatan sama frustasinya dengan Aydan.
Anehnya, meskipun sama-sama berpikir keras, keduanya kompak tidak menunjukkan ekspresi berlebihan. Tidak ada kerutan menonjol di tengah alis. Mereka hanya memejamkan mata beberapa detik jika ingin menenangkan pikiran. Itu pun hanya sesekali.
“Kapan kamu tau dia hamil?”
“Baru tadi malam. Dia nunjukin test pack sama hasil pemeriksaan dokter.”
“Usia kandungannya?”
“Enam minggu.”
Suasana disekap keheningan. Keduanya berkubang dalam pikiran masing-masing.
“Sejauh ini, solusi apa yang terlintas di kepala kamu,” tanya Jelita tanpa menatap Aydan. Jarinya masih mencubit-cubit bibir.
Ada jeda cukup lama sebelum Aydan berkata, “Kamu pasti nyumpahin aku kalau mendengar solusi yang baru aja melintas di kepalaku.”
Jelita mengangkat pandangan dan mendapati Aydan tengah menatapnya. “Kenapa aku harus nyumpahin kamu?”
“Karena satu-satunya solusi yang terlintas di kepalaku melibatkan kamu.”
Sebelah alis Jelita yang berwarna cokelat alami kini terangkat. “Aku?” Dia menunjuk hidung sendiri.
Aydan mengangguk, tapi enggan membuka mulut. Sikapnya yang seperti sengaja mengulur waktu berhasil menyulut rasa penasaran Jelita. Wanita itu merapatkan lutut pada Aydan serta memajukan tubuhnya.
“Tell me whatever you think!” desaknya. Lengkap dengan tatapan serius.
Aydan tidak langsung menjawab. Dia melakukan hal yang sama seperti Jelita, memajukan tubuh dan mendekatkan wajah mereka.
Seandainya saja ada seseorang yang tiba-tiba membuka pintu ruangan, mungkin orang itu akan salah paham melihat posisi keduanya. Untung saja twist semacam itu tidak terjadi. Keheningan dan keseriusan masih melingkupi ruangan.
“You have to ... marry me.”
“What?” Mata Jelita membelalak maksimal. “Are you kidding me? Perempuan yang kamu hamili itu April! Bukan aku! Kenapa jadi aku yang harus menikah sama kamu?”