Hidup ini melelahkan. Setiap hari, beban di atas pundak terasa semakin berat. Walau begitu, kaki harus tetap melangkah karena waktu tak memberi ampun pada siapa pun yang lemah.
Itulah yang dirasakan oleh seorang gadis di dalam rumah kecilnya. Setiap kali bunyi reruntuhan bangunan terdengar mendekat, ia akan menekan tuts piano dengan lebih bersemangat.
Ketika kegaduhan itu terdengar lebih kencang, ia memutar tombol pengatur volume hingga hampir maksimal. Tidak ada satu pun di dunia ini yang mampu menghentikan permainan piano gadis itu, kecuali bunyi bel untuk yang kelima kalinya.
“Aaargh! Siapa lagi itu? Kapan mereka akan berhenti menggangguku?”
Dengan langkah berat dan cepat, ia menghampiri pintu.
“Ada apa?” tanyanya garang.
Sosok berwajah tampan di luar pintu pun mengerjap. Namun, sedetik kemudian, senyum manis pria itu melengkung sempurna.
“Selamat siang, Nona Gabriella,” sapanya ramah.
Sang gadis mengerutkan alis mengamati pria asing yang mencurigakan itu.
Rambut hitam yang tertata rapi, kemeja putih panjang di tengah hari yang terik, dan sepatu pantofel mengilap di ujung kaki. Tidak salah lagi. Pria itu pasti karyawan Quebracha Company yang diutus untuk meluluhkan hati Gabriella.
“Apakah mereka pikir, keputusanku bisa diubah karena seorang laki-laki tampan? Cih, pemikiran yang dangkal sekali,” batin sang gadis dengan sebelah sudut bibir berkedut samar.
“Kalau Anda ingin membujuk saya untuk menjual rumah ini, maaf ... saya tetap tidak tertarik. Tolong katakan kepada atasan Anda untuk berhenti mengganggu saya dan rumah ini. Kalian hanya akan menghabiskan waktu dan energi.” Gadis itu menarik pintu tanpa basa-basi.
Sang pria spontan menahan pintu dengan lengannya yang kekar. Mata si tuan rumah pun terbelalak menyaksikan keberanian yang tak terduga itu.
“Apa?” tanya sang gadis sambil menekan pintu agar tidak terbuka lebih lebar. Ia takut jika si orang asing memaksa masuk ke rumahnya.
“Kedatangan saya ke sini bukan untuk itu.” Senyum manis kembali diperlihatkan meski hanya lewat celah sempit.
“Lalu, apa?” Gabriella mengerutkan alis mengisyaratkan bahwa dirinya risih.
“Karena Anda menolak untuk menjual rumah ini, perusahaan kami ingin bernegosiasi.”
“Bernegosiasi? Apa bedanya dengan membujuk?”
“Tentu saja berbeda. Karena itu, mohon izinkan saya masuk dan menjelaskannya secara rinci.”
Sang gadis menggigit bibir bawahnya dan melayangkan tatapan sinis. Akan tetapi, laki-laki di hadapannya sama sekali tidak mengubah ekspresi. “Anda benar-benar ingin masuk ke rumah ini?” tanya Gabriella seperti menguji nyali.
“Ya,” angguk sang pria tanpa sedikit pun nada khawatir.
Setelah menimbang-nimbang sejenak, si tuan rumah menghela napas samar dan mengangguk kecil. “Baiklah, silakan masuk.” Pintu akhirnya dibuka.
“Terima kasih,” ucap pria tampan itu masih dengan lengkung bibir yang manis. Bahkan sampai ia duduk di sofa pun, keramahannya tetap berseri.
“Silakan diminum,” tutur Gabriella sambil meletakkan secangkir kopi dan segelas air. Sudut bibirnya kini ikut naik.
“Terima kasih, Nona. Perkenalkan, saya Max dari Quebracha Company.”
“Ya, saya sudah tahu,” sela Gabriella dengan bibir mengerucut.
“Sudah tahu?” Pria itu mengangkat kedua alisnya.
Sang gadis mengangguk yakin. “Ya ..., siapa lagi yang tega mengganggu kedamaian hidupku kalau bukan karyawan dari perusahaan Quebracha?”
Raut tegang sang pria sontak berubah kembali manis. “Oh, baiklah. Saya mohon maaf atas ketidaknyamanan Anda.”
Gabriella hanya mengangkat bahu singkat.
“Sebelum saya mulai menjelaskan, saya ingin memastikan. Apakah Anda yakin tetap tidak ingin menjual rumah ini meski ditawari harga empat kali lipat?”
Sang gadis menarik napas panjang dan menjawab, “Ya.”
“Apakah Anda yakin tetap nyaman tinggal di rumah ini jika proyek perusahaan kami sudah berjalan?”
“Ya.”
“Meski gedung-gedung tinggi mengelilingi rumah Anda?”
Gabriella pun tertunduk dan menjepit pangkal hidungnya. “Bukankah maksud Anda datang ke sini bukan untuk membujuk saya?” protesnya dengan nada malas.
“Ya, memang. Saya hanya ingin memastikan,” terang Max dengan nada santai. Selang satu kedipan, ia meletakkan sebuah map di atas meja. “Kalau begitu, Anda pasti tidak keberatan menandatangani surat ini.”
Dengan alis berkerut, Gabriella membaca dokumen tersebut. “Surat pernyataan?”
“Bahwa Anda tidak keberatan jika proyek kami tetap dilancarkan. Anda tidak akan membuat protes ataupun laporan kepada media.”
Tanpa sadar, sang gadis menggertakkan rahang. “Jadi, kalian benar-benar tega mengubah lingkungan ini menjadi perkotaan?” gumamnya dengan suara bergetar.
“Kami tidak akan menyentuh rumah Anda, termasuk pekarangan dan pagarnya. Kami hanya akan membangun pada jarak aman.”
Tiba-tiba, Gabriella mendengus dan tertunduk.
“Dari mana saya tahu kalian tidak akan mengusik rumah ini? Poin-poin yang Anda sebutkan tadi tidak tertulis dalam surat ini. Perusahaan Anda bisa saja melakukan kecurangan.”
“Kecurangan seperti apa yang Anda maksud?”
Telunjuk sang gadis mendadak teracung.
“Tunggu sebentar. Saya tuliskan poin-poin yang harus perusahaan Anda penuhi. Silakan nikmati kopi ini selagi menunggu.” Tanpa membuang waktu, Gabriella masuk ke sebuah pintu.
Seperginya si tuan rumah, mata sang pria mulai leluasa menjelajah. Semua potret yang tergantung di dinding diamati dengan saksama. Begitu pula dengan piala yang terpajang pada rak kaca di sudut ruangan. Embusan napas sinis spontan keluar dari mulutnya.
“Siapa sebenarnya perempuan ini?”
Max lanjut mengamati piano yang mengintip di ruangan sebelah. Pengamatannya baru berhenti ketika ponsel dalam sakunya bergetar.
“Bagaimana Tuan CEO? Apakah Anda masih tidak percaya bahwa perempuan itu memang unik?” Max tersenyum miring begitu membaca pesan dari sekretaris pribadinya.
“Cih, unik apanya? Justru aku semakin curiga kalau perempuan ini disuap oleh pesaing bisnis kita,” balas sang CEO tanpa perlu berpikir dua kali.
“Lalu, apakah benar bahwa perempuan itu cantik sekali? Kudengar, Gabriella itu sangat memesona.”
Helaan napas langsung keluar dari mulut Max. “Hm? Memesona?” gumamnya sembari melihat kembali foto Gabriella kecil yang diapit oleh kedua orang tuanya.
“Tidak sama sekali,” desah pria itu seraya meraih cangkir.
Begitu kopi hangat masuk ke mulutnya, mata pria itu nyaris melompat keluar. Sedetik kemudian, cairan hitam yang seharusnya ditelan malah dituang kembali ke wadahnya.
“Astaga! Kenapa pedas sekali?”
Tanpa ragu, sang CEO mengambil gelas yang satu lagi. Belum sempat air membasahi kerongkongannya, bunyi semburan air sudah terdengar. “Huek .... Asin sekali!”
Sambil mengelap bibir dan dagunya dengan sapu tangan, pria itu celingak-celinguk mencari dapur.
“Aku butuh air,” batinnya sambil bernapas lewat mulut yang menganga. Malangnya, semua pintu yang ia tuju terkunci rapat. Kedongkolan seketika meroket merobohkan kesabaran.
“Perempuan itu ... beraninya dia mempermainkanku.” Dengan tangan terkepal erat, Max mengetuk pintu kamar Gabriella.