Di sebuah Resto ternama di Jakarta, tempat di mana Kayla akan berjumpa dengan calon suaminya. Ralat. Pria yang akan dijodohkan dengannya.
Wanita cantik berdarah Sunda itu sampai berulang kali melihat benda bulat penunjuk waktu yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya. Pria yang ia tunggu terlambat 15 menit dari waktu yang dijanjikan.
Bahkan, minuman dengan varian mocha itu sudah tandas ia minum sejak tadi. Kayla mendengus kesal. Ia paling benci dengan orang yang suka terlambat seperti ini.
Tepat di menit ke 20. Seorang pria tampan dengan tubuh proposional menghampiri mejanya.
"Jadi, kau yang bernama Kayla Maharani?" tanya seorang pria berkemeja navy sambil menunjuk ke arahnya. Tatapannya seolah mengejek. Kayla sadar benar akan hal itu.
"Iya. Aku Kayla Maharani," jawab wanita culun yang duduk di hadapannya.
Pria dengan Nama lengkap Edward Walandouw ini gegas duduk tanpa diizinkan. "Aku Edward. Pria yang akan dijodohkan denganmu," ujarnya memberitahu.
"Oh," sahut Kayla singkat.
Merasa disepelekan, Edward menjadi geram. Dengan tak sopannya ia menopangkan kakinya seperti Big Bos pada tokoh-tokoh novel romantis pada umumnya.
Namun, Kayla seolah tak menggubris hal itu. Ia tetap diam dengan wajah yang tak berekspresi seperti tadi. Terlalu buang energi untuk sekedar berucap.
"Kau pikir, dirimu yang buruk rupa ini sudah pantas untuk menjadi istriku, hem? Bahkan, masih banyak wanita cantik dan sexy di luar sana pernah aku tolak mentah-mentah cintanya. Sementara kau si upik abu malah nekat memaksakan diri. Lelucon macam apa ini?" cibir pria berparas rupawan yang kini tengah bersedekap dada.
Memang benar. Ternyata good looking tidak menjamin good attitude. Kini Kayla percaya dengan perumpamaan ini.
"Aku memang tidak pantas menjadi istrimu. Sampai kapan pun itu, tak akan pernah pantas. Namun, aku juga terpaksa menerima perjodohan ini karena ayahku," sahut Kayla enteng.
"Hah, alasan! Bilang saja kau tertarik padaku, 'kan? Sehingga kau menjadikan perjodohan ini sebagai alasan. Aku sudah mengerti trik picik wanita sepertimu. Tapi ngomong-ngomong, kau pintar juga memanfaatkan kesempatan dengan baik," cibir Edward jumawa.
Kayla tersenyum miring. "Perlu kau tahu, Tuan Edward. Bahkan aku tak pernah melihat fotomu barang sekali pun. Lalu, bagaimana mungkin kau beranggapan bahwa aku tertarik padamu? Sebaiknya, simpan sikap angkuhmu baik-baik," balas Kayla tanpa ampun.
"Kurang ajar! Beraninya kau berkata hal itu padaku! Memangnya kau pikir, siapa dirimu, ha?" sentak Edward berapi-api. Pria ini tak peduli jika mereka berdua akan menjadi pusat perhatian karena suara lantangnya barusan.
"Aku memang bukan siapa-siapa. Aku hanyalah seorang wanita culun yang bernama Kayla Maharani. Sudahlah, jangan basa-basi. Kita bicarakan saja inti dari pertemuan ini," balas Kayla kembali santai. Tak ada raut wajah apa pun. Datar seperti aspal jalan.
"Apa yang hendak kita bicarakan? Sedang aku saja tak menginginkan pernikahan konyol ini!" tegas Edward. Matanya nyalang menatap wanita berkaca mata empat yang juga melihat ke arahnya.
"Sekeras apa pun kau menolak. Pernikahan ini akan terus berlanjut. Jadi, percuma saja kau protes sampai urat lehermu putus," sahut Kayla yakin.
Edward meraup wajahnya kasar. "Sial!"
Kayla mengeluarkan dua rangkap berkas dari tas hitam yang tadi sempat ia tenteng. Dua berkas dengan isi yang sama itu ia sodor kan mendekat ke arah Edward. Tentu saja berkas itu adalah perjanjian pranikah yang akan mereka sepakati bersama nantinya.
"Bacalah lebih dulu perjanjian ini. Jika kau keberatan atau ada usul lain, kau boleh mengatakannya," ujar Kayla mantap.
"Apa ini?" tanya Edward dengan mengambil salah satu dari kedua berkas yang ada di meja.
"Aku rasa pimpinan tertinggi Walandouw Corp tak buta huruf, 'kan?" Kayla melakukan serangan balik sekarang.
"Kau!" sentak Edward dengan rahang yang sudah mengeras.
"Waktumu hanya lima menit. Jadi pergunakanlah waktu singkat itu dengan baik," balas Kayla acuh.
Edward mencoba untuk tak menggubris wanita culun dan menyebalkan di hadapannya. Ia mulai terfokus membaca setiap kata demi kata yang tertuang dalam berkas itu.
"Apa? Dilarang satu kamar? Yang benar saja," protesnya dengan pandangan kembali mengarah pada Kayla.
"Karena aku pikir, kau pasti jijik jika tidur seranjang dengan wanita bertompel sepertiku," sahut Kayla dengan alasan yang logis.
Edward manggut-manggut seolah membenarkan alasan yang masuk akal dari Kayla.
"Aku tak mau kita bercerai," ujar Edward sambil menutup berkas yang sudah selesai ia baca.
Dahi Kayla sukses berkerut. "Apa alasanmu?"
"Karena aku ingin membuatmu menderita seumur hidup! Jika kau sudah berani masuk. Jangan harap kau bisa keluar," jawab Edward dengan seringai licik pada wajah tampannya.
"Oh, begitu rupanya. Baiklah. Tak masalah. Kita lihat saja siapa yang akan menderita untuk ke depannya," tukas Kayla sambil menandatangani kedua berkas itu.
"Hah, aku pastikan pernikahan ini akan menjadi neraka dunia untukmu," sahut Edward juga ikut menandatangani berkas yang sama.
"Simpan satu untukmu." Kayla tak merespon ancaman Edward barusan. Ia kembali memasukkan satu berkas pada tas hitamnya.
"Aku rasa, pertemuan kita cukup sampai di sini. Masih banyak urusan penting yang harus aku urus," pamit Kayla gegas beranjak dari kursi yang terbuat dari kayu itu.
"Hey! Aku belum selesai bicara!" teriak Edward lantang.
Namun, Kayla tak menggubris hal itu. Ia tetap melanjutkan langkahnya meninggalkan Edward yang masih menyimpan amarah.
"Gadis sialan!" umpat pria blasteran Jawa dan Belanda ini.
***
"Halo, Ayah. Ada apa?" tanya Kayla sembari menyetir mobilnya.
"Bagaimana, Nak? Kamu sudah bertemu dengan Edward?" tanya Handoko dari seberang sana.
"Sudah," jawab Kayla pendek.
"Lalu?" tanya Handoko kembali. Ia benar-benar tak puas mendengar jawaban singkat dari anaknya.
"Ya, dia kelihatannya tak terima dengan perjodohan ini. Bahkan, ia sampai mengejek wajahku yang buruk rupa," papar Kayla lebih lanjut.
Terdengar helaan napas dari seberang sana. "Sampai kapan kamu mau menyembunyikan wajahmu, Kayla? Edward itu calon suamimu. Jadi tak ada salahnya jika—"
"Maaf, Ayah. Kayla sedang mengemudi. Nanti Kay hubungi lagi."
Perempuan yang memakai blazer berwarna hitam ini langsung memutus sambungan teleponnya. Ia sungguh malas jika harus membahas perkara ini.
Kayla mempunyai alasan sendiri kenapa ia melakukan semua ini. Rasa trauma itu masih terasa sampai sekarang. Walaupun kejadian pahit itu sudah berlalu beberapa tahun yang lalu.
Brak!
Kayla terperanjat saat mobilnya menabrak kendaraan yang ada di depannya. Mungkin saja karena tadi ia sempat melamun. Gegas kaki jenjangnya turun dari mobil untuk melihat kondisi kendaraan yang tadi sempat ia tabrak.
Manik mata Kayla membola.
'Pria ini? Kenapa bisa ada di sini?' batinnya.
"Kayla?" Pria itu juga sama terkejutnya dengan Kayla.